Chapter 20

10.2K 1.3K 10
                                    

Dua hari setelah kepergian Nenek Maar, akhirnya Demitrio kembali bersekolah. Kursi di sebelah bangkuku kini sudah terisi seorang pria berwajah pucat yang sekarang sedang menempelkan pipi di atas meja seraya memejamkan mata. Ugh. Kebiasannya menyelam di dunianya sendiri.

Karena bosan selagi menunggu Bu Anies memasuki kelas, kubuka sosial media. Sebuah notifikasi dirrect message dari seseorang menarik perhatianku.

Coba tebak siapa pengirim DM tersebut?

Ryan!

Ryan si pengirim pesan singkat yang kurang lebih berisi postingan informasi olimpiade Sarasvati....

"Sarasvati?" gumamku merasa tidak asing, otakku dengan cepat bekerja mengingat-ingat kepingan kejadian. Hingga sebuah titik terang tergambar jelas di kepalaku.

Apakah ini ada hubungannya dengan olimpiade Sejarah?

Tidak lama, pesan lanjutan pun menyusul.

@ryandmt Aku boleh minta tolong sesuatu, Ron? Yakinkan Demitrio ikut olimpiade itu. Aku yakin, dia punya potensi yang luar biasa.

Sekilas, kulirik Demitrio sangsi. Sebelum membalas pesan dari Ryan, kumasukkan ponsel di kolong meja. Aku harus mengetahui alasannya terlebih dahulu.

"Dem, lo pernah ditawari olimpiade Sejarah, nggak?"

Cowok itu mengangguk singkat enggan bangkit dari posisi favoritnya.

"Lo nolak, ya?"

Lagi, yang kudapat respon serupa.

Tolong, tahan aku untuk tidak menenggalamkannya di Samudera Hindia sekarang juga. Apa mengangkat kepalanya dari meja sangat berat  bagi Demitrio Airlangga?
Decakan meluncur dari bibirku bersamaan dengan Bu Anies yang melangkah gontai memasuki kelas.

Serta-merta, kepala Demitrio terangkat. Wajah bantal, air liur di sudut bibir, dan rambut acak-acakan itu membuatku refleks menghela napas berat.

Dengan sisa kesabaran, aku kembali menyoal. "Kenapa nolak?"

Gerakan Demitrio yang sedang mengeluarkan buku pelajaran dari ransel kontan terjeda. Cowok itu melayangkan tatapan tidak suka. Melalui netra coklatnya, ia seolah berkata mau-tau-aja-sih-lo.

"Kenapa, sih?" kejarku tidak sabar.

"Gue yang harusnya nanya. Kenapa lo kepo banget?"

Aku mengigit bibir bagian bawah. Ah, sial. Benar juga, aku sudah terlalu banyak mencampuri urusan pribadi Demitrio.

"Gue sayang aja kemampuan lo nggak ter-aktualisasikan."

"Tau apa lo tentang kemampuan gue?" tanyanya malas sambil menguap lebar.

Memilih diam daripada mendebat, kukeluarkan benda pipih persegi panjang dari kolong meja. Sejurus kemudian, mengetikkan pesan balasan untuk seseorang yang belum sempat kutanggapi.

@alyssaron dia kenapa nolak terus?

Tak menunggu waktu lama, notifikasi jawaban dari Ryan muncul di layar utamaku.

@ryandmt dulu, karena nggak mau ketemu gue. Tapi, gue rasa bukan itu alasan utamanya. Kami sempet ngobrol singkat banget saat hari dukanya nenek. Yeah meski Rio masih dingin dan jutek kebangeten, gue yakin kami berdua hanya perlu waktu. Lambat laun, akan kembali seperti semula. Semoga :)

@ryandmt kayaknya, dia kurang kepercayaan diri. Mau gimana pun, Rio pernah mengalami psiko-sosial. Hal tersebut tentu menghancurkan kepercayaan dirinya.

Kuhela napas lelah seraya memasukkan ponsel di kolong meja. Benar. Demitrio memiliki potensi yang besar jika dikembangkan. Masa lalu yang seperti itu membentuk karakter dan sifat Demitrio seperti sekarang.

Namun, tekadku untuk menjadi teman yang baik bagi Demitrio serta menepati janji dengan almarhumah Nenek Maar harus terealisasikan.

"Eh, Dem." Kusikut lengannya lirih menghindari teguran dari Bu Anies. Mataku mengerling ke arahya tatapan memohon.

Tepat sesuai dugaanku, tanggapan bahasa tubuh Demitrio menunjukkan keberatan.

"Kalo gue ikut, lo ikut ya?"

"Nggak."

Decakan sontak lolos dari bibirku.

"Kalo Ryan ikut lo ikut ya?"

"Nggak." Demitrio berusaha konsisten dengan keputusannya.

"Ayolah."

Cowok itu mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Netranya melirikku malas. "Dibilang nggak ya nggak, Ron. Lo tau info Sarasvati darimana? Ryan? Bokap gue? Pak Andrews? Atau tante gue?" Ia mendengus geram. "Nggak lo, Ryan, bokap, tante, sama aja semuanya nyuruh gue ikutan itu."

Tangan kananku mengudara. Menjentikkan jemari tepat di hadapan Demitrio yang serta merta menepis malas. "Nah! Catet! Itu poinnya. Kami semua mendukung penuh karena kami sadar lo punya potensi yang perlu dikembangkan di bidang itu."

Dehaman suara yang sudah tidak asing lagi sebagai penutup dari penjelasan sok tahuku. Sontak saja aku mendapati Bu Anies yang sudah berdiri di sebelah Demitrio, guru pegawai tidak tetap itu melipat tangannya di depan dada sambil mencuri dengar. Mendadak aku jadi salah tingkat. Kugaruk rambutku yang tidak gatal lalu kembali mengarahkan fokus pada layar proyektor di depan papan.

"Sudah selesei 'kan ngobrolnya?"
Senyum asimetris terukir di bibir mungil Bu Anies sebelum guru tersebut kembali melangkah ke meja guru.

Ketika kepergian Bu Anies indra pengelihatanku sempat menangkap tatapan mencibir dan tawa tertahan dari cowok sebelahku.

"Mampus. Mangkannya, nggak usah ikut ngurusan Sarasvati. Bantu gue aja, gih, nyelesein laporan sejarah."

Aku boleh bertanya kepada kalian?

Apakah menceburkan teman sebangku ke empang lele merupakan perilaku yang berdosa?

Karena sebenarnya, tanganku gatal sekali ingin melakukan hal tersebut detik ini juga.

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang