"Fokus, Ron," sahut Amelda gerah tatkala tendanganku banyak yang melesat.
Kuhembuskan napas panjang, lalu kembali menghadap cewek berambut ikal yang membawa dobog. Ketika kakiku telah mengudara, tanpa sengaja pandangan mataku menangkap Demitrio bersama Bu Anies yang berjalan beriringan, ekspresinya keduanya sama-sama sulit ditebak. Tampaknya mereka sedang terlibat perdebatan sengit.
"Sharonnn," keluh Amelda seraya mengacak-acak rambutnya. "Lo mikirin apa, sih!?'
"Demitrio, ya?"
Bukan. Itu bukan suara cempreng Amelda, melainkan suara bariton milik Coach Andrews---yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Sorot matanya mengikuti ke mana arah pandangku. "Jadi dia yang selama ini menganggu fokus kamu dalam berlatih?"
Sontak, aku menggeleng meski ingin sekali mengiyakan.
"Cepat kembalikan fokusmu atau push up 100 kali."
Tak mau membantah perkataan Coach Andrews, kuhela napas sekali lagi lalu mengarahkan atensi pada dobog.
Fokus, Sharon.
***
Usai berakhirnya latihan hari ini, Coach Andrews memintaku berbicara empat mata di ruangannya. Bisa kurasakan aura keseriusan Coach Andrews dengan baju kebanggan dibalut sabuk hitam ketika aku memasuki tempat kerjanya.
"Kamu keliatan akrab banget ya sama Demitrio."
Kalimat simpel itulah yang menyambut kedatanganku. Akan tetapi, efeknya luar biasa.
"Iya, kami sekelas, Coach. Sebangku pula," jawabku, gugup.
"Kamu tau banyak tentang Demitrio?" selidiknya santai tapi terdengar tegas.
"Kurang lebih."
"Tahu apa saja? Eh, duduk dulu sini, Ron." Lantaran terlalu tegang diborong pertanyaan bertubi oleh Coach Andrews, aku sampai lupa duduk di kursi yang telah disediakan. Senyum teramat canggung menghias bibirku ketika pelatihku tersebut menyengir lebar.
"Nggak banyak, cuma tau tentang Ibunya doang."
Seketika, Coach Andrews membulatkan matanya. Terkesiap. "Serius? Berarti kamu termasuk orang yang 'berbeda', Ron, di hidup Demitrio, karena nggak semua orang mengetahui tentang ceritanya." Lelaki itu bertepuk tangan kagum.
"Tidak, Coach, Demitrio hanya bercerita tentang ibunya. Tidak tentang Nenek Maar, Bu Anies, maupun anggota keluarganya yang lain, dan ngomong-ngomong kenapa Coach Andrews tahu sekali tentang Demitrio? Kalian saling kenal?"
Anggukan singkat Coach Andrews menjawab segala rasa penasaranku.
"Saya mantannya Bu Anies ketika kuliah. Bisa dibilang, saya gagal move on, ya," tawa hambar pria di hadapanku pun meledak. "Kami menjalin hubungan lebih dari teman sejak masa orientasi. Kami berjuang dari nol di bangku kuliah. Mulai dari sama-sama menyelesaikan skripsi, tugas, organisasi, KKN, bahkan wisuda pun kami lulus tepat waktu bersamaan. Selama empat tahun, saya tahu Anies tak pernah absen mengurus keponakannya yang saya ketahui bernama Demitrio Airlangga."
Kepingan-kepingan memori cerita masa lalu berhamburan ketika Coach Andrews membuka lembar demi lembar kepingan hidupnya.
"Di situ, rasa kecemburuan saya perlahan menggelora. Harusnya, saya tidak begitu, ya? Apalah saya yang waktu itu hanya anak kuliahan labil dan gampang tersulut emosi. Waktu itu, Anies jarang sekali ada waktu untuk saya, yang ia pikirkan selalu Demitrio, Demitrio, Demitrio. Bahkan, saat kami jalan berdua pun yang dipikirkan ponakannya. Saya gerah dan terbawa emosi, saat itu saya memberikan pilihan kepada Anies untuk memilih Demitrio atau saya." Coach Andrews menunduk sejenak.
"Iya, tahu. Saya tahu kalau saya bodoh, Ron, Anies tentu memilih Demitrio. Saya sangat menyesal waktu itu, saya berusaha memperbaiki keadaan, saya berusaha mengenal Demitrio seperti Anies mengenal cowok misterius itu. Semakin saya mengenal Demitrio, semakin pula saya menemui berbagai luka yang cowok itu tutupi rapat-rapat. Itulah mengapa, saya pernah berharap sama kamu untuk jadi teman yang baik bagi Demitrio. Dia butuh teman, Ron, untuk menyembuhkan luka. Dia rapuh, namun berupaya tak acuh."
Kata hatiku sontak membenarkan perkataan Coach Andrews, ketika aku menyelami dunia Demitrio, siap-siap saja aku dibawa berkelana dalam kelabunya si Mr. Tembok.
"Kamu juga diberitahu tentang papanya?"
Aku menggeleng.
"Kalau begitu, dia belum membuka luka-lukanya lebih dalam."
***
Gerakanku sontak membeku tatkala kulirik rumah Demitrio yang tampak kosong melompong. Lampu-lampunya sedang tidak bekerja dengan baik. Tumben. Bang Aksa menepuk helm-ku pelan saat aku tak segera membukakan pagar.
"Ngelamunin apa sih, lo?" Bang Aksa mengikuti arah pandangan, lalu berhenti di rumah Demitrio yang senyap tanpa sepercik penerangan.
"Dia ke mana ya, Bang? Tadi pulang sekolah gue liat dia sama Bu Anies jalan barengan."
"Mana gue, tahu." Bang Aksa mengendus, cowok itu turun dari motor lalu membuka gerbang.
Aku berjalan cepat menaiki anak tangga, menuju kamar di lantai dua, lalu segera melempar asal tas ranselku di atas tempat tidur. Kakiku melangkah menuju balkon yang menghadap jendela kamar Demitrio.
Lagi-lagi, tampak senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Demitrio.
Ribuan tanda tanya menyergap batinku.Ke mana Demitrio dan Nenek Maar?
Hingga Sang Rembulan sudah menggantikan posisi raja surya untuk menyinari bumi, Demitrio tidak kelihatan batang hidungnya. Ketika jarum jam telah menggelinding ke arah jam 12, rumah nomer 26 di sampingku belum pula berpenghuni.
Dan sialnya, untuk malam ini, aku menantikan alunan musik hard rock yang berasal dari kamar Demitrio.
Namun nyatanya, aku dipeluk kekecewaan.
Karena alunan musik tersebut untuk pertama kalinya absen mengudara pada malam ini.
Sang pemiliknya telah hilang. Tanpa kuketahui keberadaannya.
Demitrio, kamu di mana?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Fiksi RemajaMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...