Chapter 4

16.4K 1.9K 41
                                        

"Demitrio Airlangga?"

Jantungku berdegup di luar batas normal, mataku menilik satu persatu peserta MPLS, siapa tahu seseorang yang bernama Demitrio maju ke depan untuk menerima penghargaan.

Akan tetapi, hasilnya nihil. Keberadaan Demitrio seolah tidak terdeteksi. Tiada tanda-tanda pemilik nama Demitrio Ailangga akan berdiri dari kerumunan peserta MPLS menuju panggung. Untuk sesaat, suasana diliputi hening. Semua mata penasaran dengan si Peraih Nilai Tertinggi.

"Apakah Demitrio Airlangga tidak hadir?" Lagi, ketua OSIS bertanya bingung. "Kalau tidak ada, kita lanjut ke hasil skor tertinggi kedua, yuk!" Sorak antusias mulai menggelora. Tapi, tidak dengan aku. Batinku masih disergap puluhan tanda tanya. Hingga pengumuman itu berakhir dan kami semua peserta MPLS kembali ke gugus masing-masing, tidak kuketahui bagaimana rupa Demitrio Airlangga.

Sialnya, aku tidak pernah tahu nama lengkap Demitrio tetangga sebelah rumahku. Jangankan mengetahui nama lengkapnya, mengintip wajahnya secara gamblang saja tidak!

Err ... sedikit horor jika Demitrio Airlangga yang dimaksud adalah tetangga sebelah rumahku.

Meski dampak positifnya aku dapat menatap wajah cowok itu setelah sekian lama kami berdua bertetangga, aku tetap ngeri mengetahui fakta tersebut.

***

"Lo jadi isi ekskul apa, Fay?" Selagi menunggu waktu istirahat kedua berkakhir, aku dan Faya melenggang ke kantin sekolah dengan mangkuk bakso yang setengah habis.

"Tentu aja klub Japaness Center." Ia menyahut sambil melipat formulir ekstrakulikuler itu menjadi dua bagian. Lalu, mengerling ke arahku. "Kalo lo?"

Sebelum menjawab pertanyaannya, aku menyuap bakso potongan terakhir. "Silat, lah."

"Kumpulin formulirnya, yuk?" Tanpa aba-aba, Faya bangkit, ia menarik tanganku setengah memaksa. Aku menurut sesaat setelah menyambar sisa teh kotak di atas meja. "Lo ke klub Silat, gue ke klub Japaness Center, ya."

Karena perbedaan jarak antara basecamp klub Silat dan Japaness Center, kami berpisah di pertigaan koridor. Faya mengambil jalur kanan sementara aku berbanding terbalik. Kakiku melangkah gontai dengan tangan kanan menggengam formulir pendaftaran ekstrakulikuler. Tak jauh dari gudang prasarana sekolah, markas klub Silat berdiri. Aku bergidik saat membayangkan harus pulang larut malam karena latihan lantas harus melewati gudang sekolah yang pintunya tak terkunci itu. Kuenyahkan pikiran-pikiran tersebut lalu memasukan formulir pendaftarannya. Aku berbalik, hendak menyusul Faya ke Japaness Center, mau tak mau harus melewati gudang sekolah.

Baru saja aku menarik langkah, indra pendengaranku menangkap sesosok pria berbadan jangkung di sudut berdebu gudang sekolah. Ia berdiri membelakangiku. Kedua tangannya terkepal di depan dada, sementara bahunya naik-turun.

Alisku sontak terangkat. Alih-alih takut, aku justru penasaran. Mataku memicing, kaki kananku mendekat ke daun pintu.

Siapa dia? Kenapa ke gudang belakang sekolah seorang diri saat jam istirahat?

Aku yakin, dia manusia. Kakinya saja menapak di tanah. Belum lagi seragam sekolahnya yang menggenakan seragam putih biru, menandakan ia salah satu peserta MPLS.

Rasa penasaranku selalu datang di saat yang tidak tepat.

"Ngapain lo?" tegurku sambil melongokkan kepala ke dalam ruangan.

Sosok itu terkesiap. Secepat kilat ia berbalik, kedua tangannya tersembunyi di belakang tubuh. Tampak menggengam sesuatu.
Sebuah iris coklat pekat menghujam manik mataku. Tatapannya dalam. Dingin. Kosong dan tak memiliki arah. Tanpa berucap sepatah kata pun, ia beranjak. Melewatiku begitu seolah tak perlu repot-repot menciptakan pembelaan.

"Kenapa, sih, dia?" gerutuku pada sosoknya yang semakin menjauh.

***

"Gue tadi ketemu cowok di gudang sekolah. Aneh. Dia di sudut ruangan, membelakangi gue, bahunya naik-turun seperti menghisap sesuatu?"

Faya mulai terusik dengan ceritaku. "Ngapain dia di gudang sekolah sendirian?" Gadis itu mengerling padaku sesaat setelah menutup komik Conan edisi terbaru.

Aku mengendikkan bahu sembari menatap sekeliling. Saat ini, terhitung dua puluh menit bel berakhirnya pembelajaran SMA Pelita 2 berdentang, akan tetapi Bang Aksa belum juga menjemputku pulang sekolah. Berakhirlah aku dan Faya menunggu di halte samping SMA Pelita 2.

"Gue curiga, deh." Aku mengomentari. "Bahunya naik turun sambil membelakangi gue." Ingatanku terlempar pada sosok tersebut kala menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya.

"Dia ... ngerokok?" tebak Faya.

Lagi, aku menggeleng. "Nggak ada asepnya, jelas dia nggak lagi ngerokok."

"Mungkin nggak, dia weed, Ron?"

Saat aku hendak menanggapi dugaan Faya yang jauh di luar ekspetasi, Bang Aksa dengan motor tuanya tiba-tiba melambaikan tangan. Seakan menyuruh mendekat. Aku segera bangkit setelah berpamitan pada Faya. Sedikit berlari menghampiri sosok Bang Aksa yang menyodorkan helm.

"Lama banget, sih, Bang," gerutuku begitu naik di atas motornya. Bang Aksa berdecak dan melajukan motornya membelah jalanan. Meski ragaku telah berada jauh di area SMA Pelita 2, tetapi, pikiranku masih tertaut di sana.

Ada beberapa kemungkinan tentang sosok yang tadi kulihat di sudut ruangan gudang sekolah.

Pertama, sosok tersebut merupakan sosok yang sama seperti yang kulihat ketika terlambat di masa orientasi.

Kedua, kenapa dia berada di gudang sekolah sementara siswa lainnya menghabiskan waktu istirahat di kantin?

Ketiga, sesuatu apa yang ia hisap sampai kedua bahunya naik-turun?

Apa benar dugaan Faya jika ia seorang kriminal yang sedang mengonsumsi narkoba?

Oh creap!

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang