Chapter 3

18K 2.1K 82
                                        

Terhitung satu jam aku berkutat dengan blankon pemilihan jurusan IPA-IPS, kertas itu belum terisi sama sekali sejak panitia MPLS membagikannya ketika pulang sekolah. Saat aku berkonsultasi pada Ibu harus memilih jurusan apa, Ibuku yang lemah lembut justru menyarankan untuk masuk jurusan yang sesuai minat dan bakat.

Menghela napas binggung, kumasukan blankon tersebut dalam laci meja belajar sembari menyibak gorden kamar. Membiarkan aroma petrichor menguar seisi ruangan.

Lama aku bergeming di depan jendela yang menghadap langsung ke kamar Demitrio.
Kuhirup aroma hujan dalam-dalam, semilir angin menggelitik kedua pipiku, memainkan helain rambut pendekku yang mencuat dari cepolan.

Saat aku hendak berbalik, kedua mataku tanpa sengaja bersirobok dengan seiris coklat pekat di balik gorden.

Seketika, aku terperanjat.

Itu ... Demitrio?

Selama 16 tahun terakhir, aku tak pernah melihat wajah cowok itu dengan jelas selain siluet bayangannya yang sedang berdiam diri di meja belajar.

Mataku memicing, mengamati dengan jelas sosok yang berada di balik gorden. Sedikit yang bisa kutangkap, iris coklat tua, kulit putih pucat, sudah itu saja. Lagi-lagi, aku tak mampu menangkap dengan jelas ciri fisik yang lainnya.

Tampaknya, Demitrio tidak menyadari jika aku memerhatikannya dari sini. Maka, aku memutuskan untuk menyapa cowok yang pernah digosipkan psikopat oleh anak-anak Perumahan Semanggi.

"Demitrio?"

Tak berselang lama setelah aku memanggil namanya, gorden dengan cepat ditutup rapat-rapat. Kedua alisku sontak bertaut.

"Lah, aneh bener."

Terkadang, aku tidak habis pikir dengan Demitrio. Apa salahnya, sih, membuka diri dan memulai interaksi?

Pernah suatu saat, aku mengorek informasi seputar Demitrio melalui Ibu. Jawaban Ibu selalu sama. Demitrio tipikal seseorang yang pendiam dan menutup diri. Tak pernah lebih dari itu. Lain cerita saat aku bertanya seputar Nenek Maar. Ibu memberitahuku jika Nenek Maar dulunya seperti orang-orang biasa di Perumahan Semanggi. Akan tetapi, sejak penyakit stroke menjangkit tubuh ringkihnya, beliau tak pernah menampakkan diri, atau bersosialisasi lagi.

Yang jadi pertanyaanku hingga saat ini, kenapa Demitrio tidak tinggal bersama kedua orangtuanya?

Kenapa ia selalu bersama dengan nenek Maar?

Banyak pertanyaan yang ingin kuutarakan, tetapi sedikit sekali yang kudapatkan.

***

"Bang, gue tadi liat Demitrio."

Bang Aksa yang sedang menggambar Nao Tomori di meja belajar, menoleh tentatif ke arahku. "Serius?"

Aku mengangguk singkat sambil mengganti-ganti siaran televisi di kamarnya. Kulahap berondong jagung sebelum membalas. "Iya. Tapi, dikit banget. Cuma keliatan matanya doang."

Umurku dan Bang Aksa terpaut tiga tahun. Dulu, sewaktu aku masih taman kanak-kanak dan Bang Aksa berada di jenjang sekolah dasar, kami berdua seringkali menyelidiki Demitrio. Cucu Nenek Maar yang jarang terlihat ketika siang hari.

Namun, hal tersebut lambat laun membosankan seiring berjalannya usia kami berdua. Lalu, saat obrolan seputar Demitrio terkubur oleh rentang waktu, tiba-tiba aku mengungkitnya kembali.

"Jadi, lo udah liat wajahnya belom?"

Aku berdecak. "Belom."

"Yaudah, sih, cenayang amat lo." Bang Aksa pun meneruskan aktivitas menggambar anime-nya. "Daripada lo ngurusin wajah Demitrio, mending lo benerin pintu kamar gue yang lagi jebol."

Kulempar satu berondong jagung pada Bang Aksa. Kena. Aku bersorak riang sementara ia  mendengus gusar.

"Apa iya, Bang, gue harus menghentikan penyelidikan ini?"

"Cih, bahasa lo. Penyelidikan segala."

Kudekap guling di kamarnya erat-erat, coba saja Ibu mendengar pembicaraanku dengan Bang Aksa, besar kemungkinan beliau akan mengomeliku dengan kalimat yang sama. Demitrio anak laki-laki yang normal. Hanya saja, sedikit pendiam dan menutup diri.

Aku tak percaya. Terkadang, Demitrio memiliki sisi menarik yang memancingku untuk menyelidikinya.

***

"Jadi, lo udah memutuskan masuk jurusan apa?" Aku meneguk botol air mineral hingga tandas seraya melirik Faya melalui ekor mata.

Poni tengah Faya yang terurai sedikit menutupi mata itu mendelik. Bibirnya yang terkatup seketika terbuka. "GUE LUPA BELOM NGISI!"

Aku berdecak. "Sama." Kami berdua melewati koridor kelas X menuju aula untuk pengumuman peraih nilai test seleksi jalur reguler SMA Pelita 2.

Faya menggendikan bahu bimbang. "Ada nggak, ya, jurusan anime?" katanya cuek. Refleks, aku mencibir. "Bodo ah, mau IPA mau IPS, gue terserah sekolah aja."

Saat kami berdua memasuki aula SMA Pelita 2, ruangan bercat biru langit itu sudah dipenuhi ratusan murid baru serta beberapa panitia MPLS. Aku dan Faya duduk berselonjor selagi menunggu dimulainya acara pengumuman. Tak lama berselang, seorang panitia MPLS ber-slayer hitam, yang kudunga merupakan ketua OSIS, melenggang gontai ke panggung kecil sembari menggemgam mikrofon.

"Selamat pagi semuanya," sapa si Gadis itu ceria. Sontak, kami seruangan menyerukan jawaban yang sama.

"Oke, seperti yang adik-adik tahu, hari ini akan pengumuman tiga besar peraih nilai test terbaik di SMA Pelita 2." Lagi, ucapakan sang Ketua OSIS disambut tepuk tangan meriah. Tak terkecuali aku yang sangat antusias.

"Pasti udah nggak sabar banget, kan. Eh tapi, sebelum tertinggi pertama hasil test, nggak seru, dong. Jadi, kita mulai dari benefit yang didapat saat meraih hasil test tertinggi, ya."

"Kentungan yang pertama adalah, masuk ke kelas unggulan 10 MIA 1 tanpa seleksi!" Mataku berbinar, masuk ke kelas MIA 1 adalah hal kuinginkan saat pertama kali menginjakkan kaki di SMA Pelita 2.

Kelas MIA 1 memang tersohor di SMA Pelita 2. Tak diragukan lagi prestasi yang diukir oleh kelas tersebut. Sebuah keistimewaan jika kita menjadi salah satu penghuni kelas impian itu.

"Keuntungan kedua, menjadi anggota klub inti OSNatic."

Gemuruh kembali menyeruak. Bahkan, terdengar suitan jahil dari salah seorang siswa. Berbeda denganku, Faya tak tampak antusias. Gadis berponi tengah itu justru membaca komik manga online.

"Tanpa berlama-lama lagi, kami akan mengumumkan, hasil skor tertinggi seleksi penerimaan peserta didik baru SMA Pelita 2 tahun ajaran 2019-2020, dengan total 924 jatuh kepada...."

"Wah gede banget 924, nggak mampu gue. Nyaris sempurna lagi." Kusenggol lengan Faya, gadis itu mengangguk sekilas lalu kembali meberuskan bacaannya.

"Selamat kepada Demitrio Airlangga!"

Alih-alih bertepuk tangan menyelamati sang Peraih Nilai Tertinggi layaknya murid lain, aku justru terperanjat. Jantungku mencelus. Kedua mataku melebar. Pupus kilat antusias di wajahku. Batinku konstan didesaki puluhan tanda tanya.

Demitrio? Anak tetangga samping rumah yang abnormal itu? Tidak! Tolong, katakan padaku jika ada puluhan bahkan ratusan nama Demitrio di muka bumi.

Semoga saja bukan Demitrio yang itu. Semoga saja.

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang