Chapter 12

12.5K 1.8K 59
                                    

Demitrio mengajakku meniti satu per satu anak tangga hingga sampai pada puncak teratas sesaat setelah Bu Anies pamit undur diri. Ia membawaku menuju dunianya, kamar bercorak monokrom yang biasanya hanya mampu kulihat melalui balkon kamarku. Kini, aku memasuki ruangan itu untuk kedua kali. Decak kagum lolos dari bibirku tatkala kuamati ternyata ada sekitar lima rak buku yang keseluruhan bukunya tentang Sejarah.

Aku mendaratkan tubuh di kasur empuk Demitrio, menikmati pendingin ruangan yang menggelitik pipiku. Sementara Sang Pemilik Kamar duduk di meja belajarnya sambil membuka bungkus buku yang barusan ia beli di Gramedia.

"Eh, kenapa selama 16 tahun bertetangga gue nggak pernah liat lo keluar dari rumah, ya?" Akhirnya, aku memiliki keberanian bertanya seputar itu.

"Males. Gue lewat gerbang belakang yang bisa nyampe ke blok sebelah." Demitrio mendecih.

Aku tiba-tiba bangkit, mengerling ke arahnya. "Loh? Kok sekarang lewat pager depan sama Bu Anies? Sekolah di SMA Pelita 2, lagi."

Mengacak rambut hitamnya sekilas, cowok berwajah putih pucat itu memutar bola matanya. "Duh ... lo tuh ... berisik, ya."

"Gue cuma kepo," dumelku membela diri. "Lagian, lo misterius banget, sih. Banyak bagian-bagian dari diri lo yang asik buat diteliti, hehe."

Demitrio mengendus. "Lo kira, gue fosil manusia pra-aksara pake diteliti segala?" Cowok itu beranjak dari tempatnya, mendekat ke arahku di sisi ranjang, lalu menyodorkan buku barunya tersebut kepadaku.

Zaman Batu, Zaman Logam, Zamam Perundagian.

Membaca judul bukunya saja, kepalaku pening. "Gue belum apa-apa udah males asli," keluhku seraya mengerang berat. "Lagian, dari awal gue pengen masuk IPA, kenapa jadi IPS, sih!? Ketemu Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi 'kan. Lo juga, Dem, udah enak masuk IPA 1, kenapa musti pindah?"

Demitrio memunggut kembali buku bersampul merah hati tersebut, menaruhnya di nakas meja, lalu menatapku lamat-lamat. Sorot matanya kosong, tapi aku yakin ada luka yang berusaha ia sembunyikan.

"Sama halnya gue, Ron, gue masuk IPS bukan karena apa-apa, tapi karena minat bakat gue ada di sana." Jeda sejenak, hening menguasi yang menjadi pengiring. "Lo liat koleksi buku-buku Sejarah gue, kan? Apa itu nggak menunjukan betapa gue sangat mengapresiasi kutipan Soekarno yang mengatakan 'Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah'. Jadi, sekarang kita buruan ngerjain, Bawel." Demitrio tiba-tiba melempar bantalnya ke arahku yang masih terpikat pada tutur katanya barusan. Aku tak sempat menghindar, hingga mengihklaskan dahiku yang terkena timpukan bantal.

Demitrio tersenyum kecil, samar-samar, tapi aku tahu dia pantas tersenyum lebih lebar dari itu.

Seketika, hatiku tersentuh. Senyuman Demitrio menjadikan stimulus tersendiri bagiku, jika aku akan menjadi teman yang baik untuknya, kalau aku sanggup menepati janji tiga orang yang berbicara hal tersebut dalam waktu berdekatan.

Semua rumor buruk tentang Demitrio seketika lenyap. Ia butuh teman bicara. Ia perlu seseorang yang ada di sampingnya untuk mendengar segala keluh kesah.

"Jadi, di sini lo mau ngerjain kerkel atau ngeliatin wajah gue aja, nih?" sindir Demitrio seraya beranjak ke meja belajar. Aku mengekor di belakang.

"Gue bingung mulainya, Demitrio."

"Awalnya, kita mulai dulu dari zaman Pra-Aksara, eh pengertiannya dulu aja, deh. Apa definisi Pra-Aksara, Ron?" Cowok berwajah putih pucat itu melempar pertanyaan ke arahku. Aku heran. Kenapa saat membahas Sejarah Demitrio bisa se-semangat ini? Mana sikap dingin dan tertutupnya itu!?

Sebagai respon, aku menggeleng.

"Astaga! Separah itukah pemahaman sejarah lo, Sharon?" Demitrio geleng-geleng tak habis pikir. Justru, akulah yang tak habis pikir saat ini, Demitrio yang tertutup dan dingin ini bisa sedikit demi sedikit terbuka ketika membahas Sejarah.

"Emang!" decihku, sinis. "Mangkannya, gue males masuk IPS."

"Pengertiannya dulu, zaman Pra-Aksara berasal dari kata Pra yang artinya belum, dan aksara yang berarti tulisan. Jadi, zaman pra-aksara merupakan zaman sebelum adanya tulisan," jawab Demitrio lugas seolah hal tersebut sudah ada di luar kepala. Ia lalu menggaet buku bersampul hijau lumut dari rak buku. Samar, judul buku tersebut Aufklarung, Rennaisance, Dan Reformasi Gereja. Aku menelan ludah, selera bacaan cowok misterius itu benar-benar sulit kutebak.

"Tungg-tunggu, laptopnya mana? Lo nggak ngetik apa yang gue omongin?" Interupsi dari Demitrio membuatku sadar jika sedari tadi aku belum mencatat hasil analisa.

"Bawa laptop?"

Sambil cengengesan, aku menggeleng lirih. Demitrio mendecih gusar, sejurus kemudian, mengeluarkan laptop berlogo gigitan apel miliknya lalu mengangsurkannya kepadaku.

Alih-alih menuruti perintahnya untuk mencatat penjelasan, aku justru salah fokus terhadap background laptop cowok tersebut.

Unity In Diversity
Trough History.
Viva Historia!

"Demitrio, secinta itukah elo sama sejarah!?" Aku syok, sungguh. Kulayangkan tatapan heran ke manik mata cowok di sebelahku.

Demitrio menarik sebelah bibirnya, menciptakan seulas senyum asimetris. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya sendiri. Ron, lo pernah mikir nggak sih kalau semua generasi muda Indonesia pada lupa sejarah bangsanya kayak lo begini bakal gimana ke depannya?" sindirnya, telak. Oke, meski sikap dinginnya luruh, kalimat tajamnya tetap ada, ya.

"Menurut gue, nggak bakal ada yang namanya nasionalisme. Semua lupa dengan jasa-jasa pahlawan yang gugur di medan perang. Selain itu, sejarah juga mengajarkan kita untuk kemajuan bangsa, karena menjadi bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari tantangan selanjutnya melainkan dilihat pula melihat sejarah yang telah diukir oleh jasa-jasa para pahlawan. Dengan begitu, kita---generasi muda---bisa merancang strategi yang lebih baik dari sebelumnya."

"Demitrio, lo kayak mesin waktunya Doraemon. Gue berasa jadi Nobita."

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang