Chapter 24

9.5K 1.4K 82
                                    

"WELCOME TO MY WORLD, SHARON!" sambut Demitrio antusias ketika taxi yang kami tumpangi telah berhenti tepat di sebuah bangunan besar bertuliskan Museum Sangiran.

Bibirku tak henti meloloskan decakan kagum menatap lahan luas yang terhampar di hadapan kami sekarang. "Ini situs purba terlengkap di pulau Jawa, ya?"

"Yup." Setelah membayar beberapa lembar kocek untuk supir taxi, kami berdua melanjutkan langkah menuju loket tiket masuk berada. "Sudah ditetapkan pula oleh UNESCO pada tahun 1996 sebagai warisan budaya."

Sembari aku memesan dua tiket, Demitrio mengeluarkan peta penjelajahan tersebut.

"Lo tau nggak, Ron, selain ada fosil manusia purba, di sini juga ada fosil binatang purba, lho!" sahut cowok itu seraya membentangkan peta penjelajahan.

Sikap dingin dan tertutup Demitrio sewaktu perjalanan di kereta telah lenyap. Digantikan peringai seperti anak kecil yang tak sabar dibelikan mainan baru oleh orangtuanya.

Begitulah Demitrio Airlangga. Terkadang, aku lelah menebak jalan pikirannya. Dia itu terlalu misterius, ingat?

"Sudah siap menjelajah waktu ke masa lalu?" sahut Demitrio seraya mengulurkan tangannya.

Tanpa keraguan sedikit pun, kusambut uluran tangan tersebut. "Ayay! Kapten."
Telapak tangan kami akhirnya saling bertaut dalam jangka waktu cukup lama.

Nyaman.

Satu kata yang mampu mendeskripsikan perasaanku saat ini.

***

"Di peta ini tertulis kalau di Sangiran ada tiga ruang pameran. Kita ke ruang pameran yang pertama, yuk. Pameran pertama menyuguhkan Kekayaan Sangiran."

Aku tak seberapa peduli dengan ocehan Demitrio yang menjelaskan asal muasal terbentuknya alam semesta melalui teori Bang-Bang. Atensiku justru tersita pada replika manusia purba yang membuatku langsung terkesima. Belum lagi, kumpulan fosil dari pithecantropus mojokertensis, pithecantropus erectus, homo soloensis, meganthropus palaeojavanicus, serta masih banyak lagi fosil manusia yang mengangumkan. Di luar ekspetasi, belajar Sejarah bisa se-menyenangkan ini.

Pasalnya, di Museum Sangiran ruang pameran didesain seperti alam terbuka. Pulasan 3D pegunungan di tembok yang seolah seperti nyata, replika-replika manusia purba yang sedang beraktivitas, potongan hasil hewan-hewan purba, artefak, duplikat temuan, audio visual dan diorama untuk memudahkan pengunjung yang payah belajar Sejarah seperti aku ini dapat mengerti.

"Wah, ada batu zaman purba dulu ternyata. Fosil binatang purba-nya juga lumayan banyak, ya?"

Demitrio mengiyakan.

"Dem, itu replika mereka lagi berburu singa tanpa busana, haduh," ungkapku heboh seraya menunjuk objek yang tak jauh dari tempat kami berada.

"Liat aja, deh, itu masih masa berburu dan mengumpulkan makanan. Tentu aja mereka nangkep binatang buas sebagai upaya bertahan hidup." Demitrio berjalan gontai ke arah yang kutunjuk. "Ron, mereka masih pakai kapak genggam!"

Kuperhatikan sederet replika peralatan bertahan hidup pada masa paleolitikum. Kubaca keterangan yang tersedia lalu menghubungkannya dengan pelajaran Sejarah di sekolah. "Bener, peralatannya masih kasar. Belum diperhalus. Ini hasil kebudayaan Ngandong?"

Jemari Demitrio menjentik di udara. "That's right, Sharon. Kebudayaan Pacitan juga turut serta."

"Kita ke ruang pameran kedua, yuk. Di sana bertemakan langkah-langkah kemanusiaan yang berisi rekam jejak silsilah umat manusia serta kehidupan mereka saat itu."

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang