Canggung.
Itulah perasaan yang mampu kudeskripsikan ketika duduk bersebelahan dengan Demitrio di sepanjang perjalanan menuju Sangiran. Kami saling diam. Tidak ada satu pun yang memulai percakapaan, sekedar basa-basi atau sapaan tak berarti.
Menghela napas panjang, kubuang pandangan ke arah pepohon yang seakan bergerak dari luar kereta. Harusnya, aku sadar. Mau bagaimanapun, sikap Demitrio tidak akan berubah sepenuhnya. Dia tetap si irit bicara dan misterius.
Terhitung satu jam perjalanan kami di dalam kereta, tetapi terasa lama sekali. Karena bosan, kulirik Demitrio. Cowok itu tak bergerak sedikit pun dari posisi semula. Tatapan matanya terlihat sayu, wajah pucatnya mencerminkan kecemasan. Tampaknya, cowok itu tengah beradu dengan pikirannya sendiri. Alisku tertaut. Ada hal ganjil yang Demitrio sembunyikan dariku. Tapi, entah apa.
"Dem?" Hati-hati, kutepuk lirih bahu cowok tersebut. Sontak, ia terkesiap. Sorot matanya berpaling cepat ke arahku. Ribuan tanda tanya tercetak jelas di sana.
"Ada apa?"
Aku menggigit bibir bagian dalam, ragu. "Lo ... kenapa?"
Demitrio menunduk sesaat. Lalu, tersenyum getir. "Gue cuma teringet nyokap."
Sisi lain Demitrio yang jarang diketahui orang selalu terkuak ketika cowok itu mulai membicarakan ibunya. Sikap dingin yang dimilikinya tiba-tiba lenyap, digantikan sorot kerinduan yang mendalam dan perasaan ingin bertemu.
Kugenggam erat tangan Demitrio. Mencoba menguatkan di titik terapuh ketika cowok berwajah datar tersebut mengungkit kenangan pahit perihal sosok ibu yang sangat ia rindukan.
"Almarhumah nyokap gue dulu kerja di Sangiran. Waktu kecil, gue sering diajak ke sana bareng Ryan. Menjelajah situs purba di Indonesia bener-bener hal yang menyenangkan. Nyokap memperkenalkan gue dengan Sejarah melalui pembelajaran yang berbeda dari biasanya. Kita nggak lagi belajar Sejarah di sana, tapi main-main ke masa lalu. Mencari teka-teki yang hilang untuk dipecahkan dengan mesin waktu Doraemon. Begitu katanya."
"Tapi, sejak nyokap sama bokap pisah, gue nggak pernah lagi dateng ke sana. Setiap kali ke Sangiran, gue selalu teringat nyokap. Ada penyesalan yang mendalam ketika nyokap meninggal, justru gue nggak ada di sampingnya. Perasaan bersalah yang bikin gue memilih menghindar dari semuanya."
Alisku bertaut. Kalau begitu, kenapa Demitrio justru mengajakku ke Sangiran? Bukankah tempat tersebut merupakan hal yang paling ia hindari?
Ribuan tanda tanya menelusup di batinku tanpa bisa dicegah. Aku menatap Demitrio lekat-lekat. Mencari jawaban atas pertanyaan yang sulit kuutarakan.
Akan tetapi, hasilnya nihil. Lagi, cowok itu terlalu misterius untuk mampu menebak jalan pikirannya."Bukannya ini menyakitkan, Dem? Lo harus kembali ke sesuatu yang lo sendiri benci itu."
Demitrio menghela napas berat. Cowok tersebut mengusap wajahnya secara kasar. "Lo bakal tau sendiri jawabannya setelah kita sampai." Itulah kalimat terakhir yang Demitrio ucapkan sebelum ia mematung enggan bersuara lagi.
Batinku berusaha menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Sikap ganjil Demitrio semakin membentangkan tembok tak kasat mata di antara kami.
Trip ke Sangiran tak berjalan sesuai ekspetasi. Aku kira, Demitrio sudah meluluh dan membuka diri. Kami akan
menjalani trip dengan menyenangkan dan berbagai obrolan renyah di sepanjang perjalanan.Namun, nyatanya tidak.
Ponsel yang kuletakkan di saku celana tiba-tiba bergetar singkat karena sebuah notifikasi. Refleks, kugaet benda pipih persegi panjang tersebut untuk mengetahui pesan elektronik yang baru saja mampir. Nama Demitryn Hw menyembul disertai pesan balasan yang membuat mataku sontak membulat.
demitryahw@gmail.com Serius, Sharon? Kebetulan aku juga berencana ke sana hari ini. Hahaha, see ya, Ron!
Sejenak, aku bergeming.
Mungkinkah?
***
"Sharon."
Indra pendengarku menangkap samar suara Demitrio yang berbisik lirih. Kemudian, disusul guncangan pelan yang membuat mataku mengerjap-ngerjap.
Sepertinya, aku tertidur lelap di sisa perjalanan tadi. "Udah sampe?"
Demitrio mengangguk, singkat.
Sejenak, aku merenggangkan tubuh sebelum bangkit menyampirkan ransel lalu mengekor di belakang Demitrio.
"Lo laper, nggak? Kita makan dulu, yuk." Tanpa mendengar persetujuan dariku, Demitrio menarik lenganku memasuki sebuah warung tenda tak jauh dari pintu masuk Stasiun Sragen.
"Ini masih lama, ya?"
"Kira-kira setengah jam lagi, lah, setelah kita naik taxi dari sini."
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku sesaat sebelum bertanya. "Emangnya, waktu nanti kita udah sampe Museum Sangiran, museumnya masih buka?"
"Masih, lah. Kita kan berangkat dari Jakarta jam enam pagi, sampai sini jam 12 siang. Perjalanan lagi setengah jam, otomatis masih ada sisa waktu sebelum tutup jam empat sore," sahutnya menggebu-gebu.
Demitrio tiba-tiba bangkit, menemui ibu penjual warung tenda untuk memesan dua nasi campur dan dua gelas es teh manis. Setelah itu, cowok berwajah datar tersebut kembali dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya.
Dahiku sontak bergelombang. "Ini apa?"
"Peta perjalanan menjelajah Sangiran," serunya antusias. "Nanti, kita bakal seru-seruan di setiap sudut museum purbakala itu lewat sini. Ini gambaran nyokap gue sendiri, Ron," kata Demitrio sambil menghamparkan gulungan kertas tersebut.
Kuteliti kertas karton yang menghampar di depanku sekarang dengan decakan kagum. Peta gambaran perjalanan ini sungguh detail. "Keren!"
Ibu penjual warung tenda tersebut tiba-tiba menghampiri kami dengan membawa pesananku dan Demitrio.
Ketika ibu tersebut menyodorkan dua buah nasi campur serta dua gelas es teh, refleks aku berucap, "Terima kasih."Setelah itu, keadaan saling hening. Kami sibuk dengan makanan masing-masing. Ketika nasi di piringku sudah tak bersisa, kuseruput es teh manis sambil melirik Demitrio.
Ada banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan, akan tetapi hanya sampai ke pangkal lidah.
"Ron...," sahut Demitrio sambil mengaduk es teh manisnya.
"Kenapa?" Dahiku sontak bergelombang.
"Kita tetep kayak gini, ya?"
"Maksudnya?"
"Kita tetep kayak gini. Jangan ada yang berubah."
Meskipun aku merasa ada yang ganjil dari ucapannya, akan tetapi, aku tetap mengangguk.
"Iya, janji."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/193355629-288-k383398.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Teen FictionMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...