Awan kelabu membumbung tinggi di angkasa, siap menumpahkan yang di kandungnya. Kilat menyambar-nyambar, menciutkan nyali siapapun yang hendak bermain hujan.
Anak-anak ditarik masuk.
Pintu-pintu rumah ditutup, jendelanya ikut dikunci. Angin serta badai menerjang, berhembus ke sana-kemari. Membuat sesiapa yang berada di perjalanan menghentikan kendaraan, mencari tempat perlindungan.
Rinai mulai turun, semakin lama bertambah deras. Angin kencang dan petir yang menyambar membuat jalanan yang mulai gelap menjadi terang-benderang.
Di sebuah rumah megah dengan pagar tinggi menjulang berdiri seorang gadis kecil.
Mata bulatnya memperhatikan pagar rumah yang tak kunjung terbuka dengan jeli, seperti takut melewatkan sesuatu. Di sebelahnya seorang perempuan dengan pakaian seragam, berusaha membujuknya masuk ke dalam rumah. Namun, gadis itu tidak mengubris.
Ia begitu acuh. Begitu fokus memperhatikan pagar.
"Kita masuk dulu, ya. Ibumu pasti akan datang, jangan berkecil hati. Ia mungkin sedang berteduh di sebuah toko sekarang."
Ibunya, 'kan, memakai mobil, jadi untuk apa berteduh?
Ah, lupakan. Anak itu sedang tidak ingin mendebat kalimat bibi. Otaknya sedang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang dimana ibunya? Kenapa belum juga sampai?
Hari ini gadis itu berulang tahun.
Ibunya berjanji akan memberinya hadiah. Ia meminta hadiahnya ayah. Bertemu sekali saja, pintanya kala itu ketika ibu menyuruh meminta yang lain.
Ia tidak mau yang lain. Cukup ayah. Tidak mau yang lainnya.
Walau dengan berat hati, ibunya waktu itu menyanggupi. Berjanji akan mempertemukan mereka saat ulang tahunnya. Tapi sekarang dimana perempuan yang selalu ia panggil mama itu berada?
Setelah sekian lama berdiri dengan pakaian terbaik, raut bahagia dan senyuman manis. Ibunya tak kunjung datang. Bahkan sekarang senyumannya telah hilang, pakaiannya mulai lusuh karena sering di remas-remas dan wajahnya tampak muram.
Dengan menunduk, gadis kecil itu kembali mengingat-ingat cerita teman-temannya di TK. Ayah itu adalah yang paling baik, ayah yang suka ngasih jajan, ayah yang suka membela ketika dimarahi ibu, ayah paling seru kalau diajak main, digendong ayah itu enak dan lain-lain.
Cerita-cerita tentang ayah terus-terusan berputar di kepala gadis berumur 6 tahun itu.
Ia ingin merasakan punya ayah!
Sepertinya cerita-cerita tentang ayah itu hanya akan menjadi mimpi baginya. Karena tidak ada yang peduli, bahkan ibunya sekalipun. Buktinya perempuan yang berjanji itu tak kunjung datang menunaikan janjinya.
Ibunya sepertinya tidak pernah berniat untuk menepati janji itu. Ucapkan akan mempertemukan mereka kemarin hanya untuk mengelabuinya.
Bibi kembali membujuk. Lagi-lagi tidak digubris.
Perempuan setengah baya yang berprofesi sebagai pembantu itupun mulai putus asa. Ia menyerah membujuk gadis kecil yang sangat keras kepala ini. Yang dapat ia lakukan sekarang hanyalah menemaninya sambil terus mengusap punggung mungil anak majikannya yang hanya terdiam sedari tadi. Seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kilat menyambar.
Menggelagar.
"Kita masuk, ya, Mentari," pintanya lagi.
Gadis kecil yang dipanggil Mentari berbalik, ia masuk ke dalam rumah dengan hati yang dongkol.
Yang ia tunggu-tunggu tak kunjung datang. Sudah mau magrib. Seharusnya ibunya sudah sampai di rumah. Bukankah ia berjanji akan pulang cepat hari ini?
Mentari terlalu percaya. Anak kecil sepertinya memang begitu mudah dipengaruhi.
Diiming-imingi sedikit janji langsung bersorak bahagia. Seolah-olah janji itu pasti ditepati dan lupa bahwa ibunya tidak pernah menepati janjinya.
Dasar anak kecil.
Dan sekarang ia kecewa. Janji kembali diingkari oleh sang Ibu, tentu saja.
Mentari menghembuskan napas lelah.
Ia hanya ingin bertemu ayahnya. Ingin merasakan hangatnya gendongan ayah. Ia iri dengan teman-temannya yang mempunyai ayah. Cerita-cerita mereka terdengar menyenangkan dan mengiurkannya untuk merasakan itu juga.
Sesederhana itu.
Kenapa susah sekali mewujudkannya?
Memang ayahnya kemana? Kenapa tidak pernah pulang?
Ia bahkan tak pernah sekalipun tau bagaimana rupa ayahnya. Ibunya tidak pernah mau bercerita ketika ia tanya tentang ayah.
Ni-nu-ni-nu-ni-nu.
Suara sirene terdengar mengudara. Bertalu-talu. Semakin lama, bunyinya semakin keras. Dan benar saja, mobil itu berhenti tepat di depan pagar yang sedari tadi Mentari perhatikan.
Gadis kecil dengan jaket tebal membalut tubuhnya itu berlarian menuruni tangga. Dengan terburu-buru membuka pintu pagar tanpa menutup kepalanya dari serbuan air hujan. Untung bibi segera mengejar dan memayunginya tanpa lupa membantu membukakan pagar rumah.
Perempuan yang kemarin berjanji akan mempertemukan dirinya dengan sang Ayah menghambur memeluk Mentari. Siapa lagi kalau bukan ibunya? Wanita yang sedari tadi ia tunggu.
"Tari. Maafin Mama ya. Hari ini kita nggak bisa ketemu papa dulu. Mama ada urusan. Kamu siap-siap ya sama bibi. Besok bakalan ada yang menjemput. Mama pergi lagi, ya, Nak. Jaga diri."
Mentari ditodong dengan begitu banyak kata-kata. Ia tidak mengerti, ada apa? Kenapa mamanya datang dengan mobil polisi? Mama menangis kenapa?
"Mama mau kemana? Kenapa kita nggak jadi ketemu papa? Memangnya besok mau kemana? Aku ikut mama, ya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Mentari, ibunya malah beralih kepada pembantunya. "Bi, besok saudara saya akan menjemput. Tolong pakaian sama peralatan Mentari disiapin. Dia akan menjelaskan semuanya nanti."
"Baik, Buk." Bibi mengangguk, mengiyakan.
"Sudah, Pak." Ibunya berbalik, masuk kembali ke mobil polisi.
"Mama! Aku ikut." Mentari berteriak. Ia ingin mengejar, tapi ditahan bibi.
"Mama sayang Mentari."
Mobil berjalan, meninggalkan perkarangan rumah yang mulai diisi teriakan dan tangisan Mentari.
Dengan segenap tenaga bibi membopong Mentari yang berontak, masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
"Mama! Mama! Aku mau ikut mama. Bibi! Bukain pintunya!"
"Kuatlah, Nak," batin bibi tanpa mengikuti permintaan Mentari yang histeris.
Di luar petir menyambar lagi, berikutnya hujan mulai berkurang hingga digantikan oleh mentari senja yang indah. Sedangkan di dalam rumah yang penuh kemewahan ini, Mentari malah tertutup awan hitam nan pekat. Tidak ada sedikit celahpun untuknya bersinar.
***
Revisi: Ahad, 8 Januari 2023
Rabu, 13 Maret 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...