2. Hari Pilu

91 7 0
                                    

Bertahun-tahun berlalu, bulan-bulan telah begitu banyak terlewati. Kini Mentari mulai beranjak remaja. Perawakannya yang dulu kecil, mungil, dan tak berdaya sekarang telah banyak berubah. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat bisa diandalkan. Contohnya saja, sepagi ini ia telah 

Setelah kembali dari rumah Aini-temannya, Mentari tergesa mengambil topi camping di ruang tamu sembari berteriak memanggil bibinya. "Bibi! Bibi dimana?"

"Yaaa, di sini, dapur."

langkahnya menuju dapur, ia hendak mengambil cangkul di sana sekalian berpamitan pada sang Bibi yang sedang memasak.

"Di sini rupanya, uhm, Bi, aku mau ke sawah sekarang, ya?" ujarnya sembari mengambil cangkul lantas mengisi botol minumnya dengan air, bersiap untuk membawanya menuju sawah yang berada tak jauh dari rumah.

"Iya, nanti bibi nyusul. Hati-hati." Nini menjawab sambil meracik beberapa bumbu ke dalam kualinya yang bagian bawahnya telah hitam sempurna-maklum mereka memasak menggunakan tungku.

"Oke, tenang aja."

"Oh iya, udah sarapan belum?"

"Udah dong. Assalamualaikum."

Tadi di rumah Aini, Mentari memang telah sarapan, mereka membeli lontong kari yang terletak tak jauh dari rumah Aini. Tentu saja, sekarang ia telah kenyang.

"Uhm, waalaikumussalam."

Mentari berlalu dari ruangan itu setelah menyalami tangan bibinya. Dengan membawa topi camping, cangkul serta botol air minumnya yang telah penuh, Mentari melangkah riang meninggalkan rumah.

Nanti, sekitar jam sepuluhan ia akan mendaftar sekolah menengah atas bersama Aini-teman karibnya. Jadi, ia harus menyelesaikan tugasnya pagi ini dengan cepat agar tidak terlambat ketika mendaftar sekolah. Satu jam cukuplah untuk menyelesaikan mencangkul sepetak sawah.

Langkahnya yang lebar membuatnya sampai di sawah lebih cepat. Dengan meninggalkan botol minum di pematang sawah, ia mulai bekerja bertemankan topi camping dan cangkul usang.

Beberapa menit mengayun cangkul membuat keringatnya mengucur deras, mungkin ini sebab udara yang tetiba panas-padahal langit sedang mendung.

Setengah jam berlalu, angin mulai berhembus membawa hawa dingin. Sejuk terasa olehnya, tapi ia tak mau berhenti dari kegiatannya itu. Ada beberapa tempat lagi yang belum beres ia cangkuli, mungkin ia merasa sedikit lagi selesai-tanggung jika pulang sekarang.

Sedangkan di lain tempat, Nini sedang bersiap untuk menyusul Mentari. Pintu telah siap ia kunci. Melihat langit yang mendung dan angin yang membawa hawa sejuk, membuatnya membatalkan niat untuk membawa makan siang ke sana. Sepertinya akan turun hujan lebat sebentar lagi, begitu pikirnya.

Ia melenggang seorang diri tanpa menenteng apapun. Ia menyusul Mentari hanya untuk mengajaknya pulang, sebab anak itu biasanya kalau pekerjaannya belum selesai tidak mau beranjak sedikitpun. Dan sekarang gadis itu belum kembali, ia tentu saja khawatir keponakannya itu ditimpa demam karena hujan-hujanan.

"Tari!" teriaknya dari gubuk, berteduh sebab hujan telah mulai turun rintik-rintik-bunyinya terdengar dari atap gubuk.

Mentari di tengah sawah, menegakkan tubuhnya ketika mendengar namanya dipanggil. Terlihat di gubuk, bibinya melambaikan tangan.

"Pulang! Hari udah hujan, nanti demam."

Mendengar hal itu, ia memandangi sepetak sawah yang sedang dikerjakannya. Tinggal sedikit lagi untuk selesai. "Tanggung!" teriaknya membantah ajakan pulang Nini lantas kembali mencangkul.

Sang bibi menggelengkan kepalanya heran, keponakan satu-satunya ini memang sangat keras kepala sama seperti neneknya.

Rintik-rintik hujan mulai berhamburan menghantam sawah-sawah yang tergenang. Terlihat titik-titik kecilnya semakin banyak, menciptakan riak.

"Itu anak ya. Keras kepala banget." Nini bergumam sembari mengambil daun talas yang berada tak jauh dari gubuk. Ia mengambil dua tangkai, untuk dirinya dan Mentari.

Dengan berpayungkan daun talas yang lebar, ia melangkah menuju tempat Mentari mencangkul sawah. "Nih, ambil. Kita pulang sekarang."

"Bibi, kerjaan aku tinggal dikit lagi ini. Bentar lagi ya. Bibi tunggu aja di gubuk dulu." Mentari menyambut tangkai daun talas yang diberikan, hanya saja tidak ia gunakan.

"Tapi, Aini pasti sudah penunggumu di rumah. Bukannya kalian janjian jam sepuluh?"

"Iya, Bibi. Makanya aku pengen nyelesein ini cepat-cepat. Bibi tunggu aja di gubuk, atau pulang temani Aini kalau dia udah nyampe."

"Ya sudah. Bibi tunggu di gubuk. Cepetan selesai. Ini kayaknya mau kilat."

"Iyaa."

Nini kembali ke gubuk dengan tergesa. "Memang kalau sudah keras kepala susah dibujuknya gadis itu," batinnya mengerutu atas kekeras-kepalaan Mentari yang sangat-sangat sulit untuk dirubah.

Sedangkan gadis yang digerutui melanjutkan kegiatannya kembali, yang benar-benar tinggal sedikit lagi. Punggungnya telah basah oleh deraan air hujan. Kuyup sebab rintikan itu telah mulai tumpah secara besar-besaran.

Duar!

Petir menggelagar, selarik cahaya yang mendadak muncul membuat Mentari menghentikan kegiatannya. Bunyi keras itu terdengar begitu dekat sekali dengan pendengarannya.

Bug.

Suara benda jatuh di air membuat Perempuan yang berusaha menyelesaikan pekerjaannya ini menoleh. Terkejut. Cangkul yang jatuh dari tangan tidak ia pedulikan. Daun talas pemberian bibinya barusan diterbangkan anginpun tak ia hiraukan.

"Bibi!" serunya, lantas berlarian mendekat dengan air mata yang langsung luruh menghantam sawah yang berlumpur.

Seluruh bagian wajah Nini telah menghitam, hangus terbakar. Tubuhnya hampir tenggelam di sawah yang berlumpur. Daun talas yang tadi ia pegang ikut menghitam dan diterbangkan angin, menjauh.

Tubuh itu berasap, seolah itu adalah makanan yang gosong akibat terlalu lama tidak diangkat dari penggorengan. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

"Tolong!" teriak Mentari, ia menjatuhkan diri di sawah yang tergenang. Air matanya luruh dengan sangat deras, sederas hujan pagi ini.

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang