"Assalamualaikum?"
Suara salam menghentikan keributan kecil di kelas. Mereka yang bergosip ria, bertanya-tanya siapa yang datang. Apakah anak baru? Itulah obrolan mereka pada teman. Entah ada yang tahu, entah tidak yang penting tanya aja dulu.
Perempuan dengan balutan syar'i memandang yakin ke depan, lebih tepatnya kening teman barunya. Tidak ada yang namanya tidak percaya diri baginya, walaupun terdengar bisik-bisik menjelekannya. Ada yang berbisik teroris, fanatik dan berbagai macam keburukan lainnya. Namun, ia tidak peduli.
Namanya Lala. Perempuan manis itu memilih duduk di sudut kanan. Berpasangan dengan perempuan yang sejak ia mendekat memasang wajah kusut, tak suka. Perempuan itu ber-name tag Mentari. Iya, itu Mentari Senja. Ia tidak suka Lala duduk dengannya, tapi apalah daya ia tidak bisa menolak. Nanti akan ia coba meminta Lala pindah duduk karena ia tidak mau pindah dari bangku itu. 'Enak saja!' pikirnya.
"Hai aku Lala, salam kenal."
Lala mengulurkan tangan, ingin dijabat. Namun, si lawan bicara hanya diam lantas mengalihkan pandangan menuju papan tulis. Fokus.
Dengan pelan Lala menyimpan tangannya kembali. Ia diacuhkan! Mungkin teman barunya ini butuh adaptasi, pikirnya. Tanpa perlu memikirkan sikap Mentari padanya, Lala mengambil peralatan menulisnya dari dalam tas dan sekilas tersenyum pada teman yang duduk tepat di belakangnya.
Selama beberapa jam berlalu akhirnya kelas mendadak riuh tatkala bel berbunyi nyaring, pertanda waktu istirahat pertama telah datang. Sebagian besar siswa-siswi langsung menghentikan kegiatan tulis menulis mereka, tak peduli apakah catatannya telah selesai atau tidak, yang penting istirahat.
Lala dengan tergesa menyelesaikan catatannya. Lalu dengan tergesa pula ia melangkah ke depan, tempat dimana sang guru masih membereskan peralatannya. Lala mengulurkan tangan, hendak menyalami tangan gurunya hari ini. Sopan, mungkin satu-satunya anak yang sopan di kelas itu hanya Lala, selebihnya banyak yang tidak peduli. Selepasnya guru itupun berlalu keluar.
"Cari muka!" sorak suara dari belakang, bangku para pengosip kelas yang sukanya menjelekkan orang. Kebetulan sekali mereka hari ini tidak cepat keluar, mungkin mau mencari gosip baru dari anak baru.
Tanpa memperdulikan mereka, Lala lantas kembali ke tempat duduknya. Mentari yang masih menulis di meja hanya memandang malas kedatangan Lala. Menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk melakukan negosiasi, mungkin.
"Kamu nggak ke kantin?" tanya Lala sambil duduk. Ia membereskan peralatan menulisnya.
Hening tak ada jawaban. Masih sama hingga ia kembali beralih pada Mentari yang juga membereskan peralatannya. Mencoba bersabar atas sikap teman barunya yang tak acuh padanya, walaupun telah berulang kali ia ajak bicara. Padahal tadi selama belajar ia dapat mendengar suara Mentari, jadi tidak mungkinkan kalau Mentari, bisu?
Mentari yang bersiap mengeluarkan unek-uneknya mulai mengatur napas. Pandangannya mengelilingi ruangan kelas, memperhatikan situasi. Ia tidak ingin digosipin menjadi siswa yang menindas anak baru. Secara 'kan ia mau mengusir Lala dari bangku di sampingnya.
Kelas sepi. Si grup gosip kelas telah keluar tadi bersama gosip mereka.
"Gue mau bicara," ujar Mentari. Gaya bicaranya telah tertular gaya bicara orang kota, padahal baru sebulan ia tinggal di sini.
Lala mengerutkan kening, bingung. "Silahkan," ujarnya sembari mengulas senyum tulus. Memperbaiki duduknya agar lebih nyaman berbicara dengan Mentari. Nampaknya, Mentari serius.
"Mau ke kantin?"
"Hah?"
Dikarenakan Lala sangat sopan dan sepertinya cukup baik. Mentari tidak mau membalasnya dengan berlaku buruk padanya. Mengusir? Yang benar saja. Memangnya, apa hak dirinya mengusir? Ya sudah, lebih baik berteman saja. Lagi pula ia memang ia tidak punya teman sebangku 'kan? Dari pada menyendiri terus. Kayaknya asyik punya teman sebangku. Selama di sini mungkin Mentari terlalu menutup diri dari lingkungan, buktinya ia melarang siapapun untuk duduk di bangku sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
EspiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...