Mentari sedang membasuh wajahnya yang berminyak akibat olahraga tadi di wastafel.
"Mentari, udah."
Lala keluar dari bilik kecil sehabis menganti pakaiannya dengan seragam biasa. Sekarang giliran Mentari, bilik yang lain telah terisi semua. Mentari menyampirkan pakaian gantinya pada bahu, melangkah masuk ke dalam bilik kecil itu. Sekarang, Lala yang mengantikan posisinya untuk membasuh wajah.
Ceklek.
Pintu toilet khusus perempuan dibuka dari luar. Masuklah Salma beserta dua temannya yang langsung berlagak pongah dengan mengibaskan rambut indahnya.
"Apa lo, lihat-lihat?" ketusnya tak suka dilihat Lala terlalu lama, kemudian ia melengos mendekati wastafel. Dua temannya mengeluarkan berbagai barang kecantikan dari saku masing-masingnya. Lala bergidik melihat segitu banyaknya alat make up.
"Pergi, lo, sana!" Salma mendorong tubuh Lala menjauh dari wastafel disambut oleh temannya yang berambut sepunggung hingga membuat Lala mendekat ke pintu.
"Keluar," ujarnya membukakan Lala pintu lalu mendorongnya keluar.
Lala mendengus, ia memilih menunggu Mentari di luar saja dari pada di dalam bersama manusia tak punya hati itu.
"Itu yang tadi bukannya temannya si Mentari, ya?" Jeny-teman karib Salma teringat sesuatu. Wajah Lala cukup familiar di matanya. Merasa pernah bertemu dengan siswa berpenampilan seperti itu.
Orang-orang yang ada di bilik toilet perlahan berangsur habis, mereka yang sebelumnya ingin memperbaiki penampilan dulu sebelum masuk kelas membatalkan niat karena melihat Salma. Mereka tidak seberani Mentari yang suka melawan jika merasa tertindas, mereka lebih suka menghindar saja daripada dapat masalah dengan kakak kelas seperti Salma.
"Kayaknya sih. Gue pernah liat dia waktu lo di tampar." Kali ini Lina yang bersuara, perempuan yang mendorong Lala keluar pintu itu merasakan hal yang sama dengan Jeny.
"O iya, ya. Kalau begitu bawa dia sini. Belum jauh tu kayaknya." Salma yang sedang memakai make up langsung berujar, ia sebenarnya telah lupa dengan sosok Lala. Hanya karena temannya mengingatkan jadinya ia mendapat sebuah ide untuk balas dendam dengan Mentari, lagi.
Lina kembali membuka pintu toilet, melihat Lala masih berdiri di samping pintu ia langsung menariknya. Senyum miring tercipta pada wajah tirusnya. "Bagus lo nggak pergi. Sini lo, masuk," perintahnya tanpa mau ditolak.
"Kenapa, kak?" Lala terkaget karena disapa tiba-tiba. Padahal dirinya baru saja bernapas lega, sebab terbebas dari masalah dengan geng itu, sekarang malah ditarik lagi masuk ke dalam.
"Nggak usah banyak ngomong!" ketus Lina.
"Enaknya, kita apain nih cewek?"
Salma memandang Lala dari atas hingga ke bawah dan dari bawah ke atas, dengan pandangan merendahkan. Senyum miring menghiasi wajah putihnya menciptakan aura mengerikan bagi Lala.
"Tampar, deh," usul Jeny seketika. "Kalau nggak ambil aja jilbabnya," tambahnya.
"Terus di poto dan sebar."
Lala ciut. Nyalinya yang hanya seujung kuku perlahan terkikis. Keberaniannya hanya timbul ketika tampil di depan umum, tidak ketika dihadapan ratu bully sekolah ini.
"Ja-jangan, kak," ucap Lala dengan terbata-bata dan memelas. Memohon dengan sangat.
"Ide bagus, tuh."
Melihat Lala yang ketakutan membuat Salma menjadi-jadi, dengan senyum penuh kemenangan ia perintahkan kedua temannya untuk melepaskan khimar lebar Lala. Lala bersikeras memegang kimarnya agar tak lepas dari kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...