["Assalamualaikum, Mentari?"]
Suara halus Lala mengalun merdu dari speaker ponsel milik Mentari. Perempuan itu sedang duduk di kursi meja belajarnya sembari menatap keluar jendela.
"La! Lo kemana aja? Sekarang dirawat dimana? Kok lo nggak angkat telepon gue kemarin kemarin, sih?" Mentari mengeluarkan tanya beruntun. Setelah hampir seminggu, ia tidak mendapat kabar dari sang Teman. Akhirnya dapat kembali mendengar suara itu lagi.
["Jawab dulu dong, salam aku."]
"Waalaikumussalam." Mentari menjawab cepat, takut kehabisan waktu untuk mengetahui kabar orang seberang seperti ketika ia menelpon dulu.
["Nah, kan, enak dengernya."] Ketahuilah bahwa Lala di seberang sedang tersenyum bahagia, mendapati teman yang ia nantikan hidayahnya sedang menjawab salamnya.
"Terus lo dimana sekarang? Udah baikan? Kok sampe di rujuk ke rumah sakit pusat, sih? Lo nggak makin parah kan, La?" Mentari berdiri, tak sabaran.
["Perasaan seorang Mentari-teman sebangku aku ini, nggak cerewet deh. Kok sekarang cerewet banget?"] Terdengar kekehan dari seberang.
"Gue ketularan elo. Jawab dong. Lo bikin gue khawatir tau, nggak?"
"Hhe, maaf ya, Mentari. Bikin kamu khawatir. Aku nggak papa kok, sekarang udah baikan."
"Terus lo sekarang dimana? Gue jengguk lo ya?"
"Nggak usah. Aku bakal pulang kok. Palingan besok atau lusa sudah boleh."
"Tapi, kan, gue pengen jenguk."
"Aku nggak mau repotin kamu, nggak usah aja ya?"
"Yaudahlah. Tapi lo janji ya, kalau bakal sekolah dalam minggu ini. Kalau nggak, bakal gue kejer lo ke sana. Liat aja."
Panggilan berakhir ketika Lala pamit untuk tidur siang.
Mentari merasa lega telah mendapat kabar dari sang teman. Ia sudah tidak sabar untuk menunjukan kepadanya bahwa dirinya yang dulu sangat menolak keras salat, sekarang sudah sangat mau. Ia sudah tidak sabar untuk salat dengan Lala di musala, seperti maunya perempuan itu.
Ya, Allah. Berilah Mentari kesempatan itu.
«●»
Mentari sedang tergugu. Air matanya mengalir sangat deras. Bagai tanggul air yang jebol. Di sampingnya berdiri Fajar, sang kakak yang selalu menemaninya sejak mendengar kabar duka ini.
Mentari tidak berdiri, ia sedang berjongkok sambil mengenggam tanah pusara yang baru saja menutupi jasad di bawah sana. Ingin rasanya menggali tanah ini sampai ia menemukan sesosok teman cerewetnya itu.
"Laa, lo janji bakal pulang. Ketemu gue, kan? Bukan ketemu Tuhan? Terus kenapa lo di sini? Dalam tanah? Lo nggak mau ngajak gue salat lagi apa? Lo udah nyerah, La? Sumpah, gue nggak kenal lo yang gampang putus asa gini La. Mana Lala yang pantang nyerah itu? Mana?"
Mentari mengacak-acak tanah pusara yang telah bertabur bunga. Rasanya tak rela kehilangan segini cepatnya. Baru saja ia membuka hati untuk berteman dan belajar bersyukur, ujian kembali datang menghantamnya. Apakah ia akan sanggup berjalan sendirian? Ia hanya takut tersesat, seperti yang telah lalu.
"Mentari? Udah. Kita pulang sekarang." Fajar menarik adiknya yang bersimpuh itu agar berdiri. Pemakaman sudah sangat sepi, hanya tinggal mereka berdua di atas pemakaman ini. Pemakaman Lala.
"Tapi—"
Fajar menggeleng, meminta Mentari untuk tidak berlarut larut seperti ini.
Mentari menarik napas dalam. Air matanya berjatuhan. "La, gue bakal jadi sahabat lo kok. Dunia akhirat. Doain gue, ya?"
Tidak ada jawaban. Mentari sudah menduga itu, tapi ia tidak peduli. "Gue pergi, ya, La. Assalamualaikum."
Mereka melangkah pelan meninggalkan pemakaman.
Awalnya, Mentari bahagia ketika mendapatkan telepon dari Lala. Ya, sesuai perjanjiannya, bahwa jika Lala menelpon berarti perempuan itu akan pulang hari ini. Tentu saja Mentari bahagia, sangat malah.
Namun, ketika mendengar suara dari seberang telepon itu. Mata Mentari langsung berkaca-kaca. Bukan binar bahagia, itu bina kesedihan yang sangat kentara.
Taksi yang membawa Lala pulang itu mengalami kecelakaan. Berguling-guling, lantas terbakar. Begitu kata si penelepon.
Ponsel ini ia dapatkan tak jauh dari tempat kejadian. Mungkin saja terlempar keluar ketika mobil itu bergulingan.
Saat laki-laki itu menelpon, para korban sedang dievakuasi. Mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya. Kemungkinan besar mereka meninggal.
Mentari jatuh, terjerembab di tempatnya berdiri. Tak kuat lagi mendengarkan, ponselnya ia lemparkan menuju sofa.
Ting. Tong.
Berulang kali bel berbunyi.
"Mentari! Buka pintu dong, gue bawa makanan nih." Itu Fajar. Dia menenteng plastik berisi martabak di tangannya.
Merasa bosan menunggu, laki-laki itu memilih untuk membuka sendiri pintu. Toh, ia sudah tahu password-nya. Tanpa dibukakanpun ia bisa masuk.
"Tari! Lo kenapa?" Fajar tentu saja terkejut tatkala mendapati sang adik menekurkan kepala di atas meja, terduduk di lantai dan terdengar suara tangisannya.
Mentari makin sesenggukan.
Ting!
Sebuah denting pesan masuk.
-Lala
[Korban meninggal dunia, bisa menjemput jasadnya?]«●»
Kesan dan pesan, please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...