Menyenangkan, baru masuk saja ke dalam, kedamaian langsung menyeruak batin Mentari. Rumah ini tidak sunyi, ada celotehan anak kecil yang menggemaskan terdengar. Menilik dari suaranya, mungkin berusia sekitar empat atau lima tahunan.
"Bunda! Bang Alan jahat!"
Teriakan itu mengema dari ruang keluarga. Di sebuah sofa. Seorang bocah perempuan berbaju tidur bergambar kartun sedang memukul-mukul kakaknya yang terbahak dengan kepalan tangannya yang mungil.
Mentari meringis menahan tawanya. Ia mengulum bibirnya kuat agar tawa itu tidak menyembur keluar.
"Anin, jangan gitu, dong. Malu, ah, sama Kak Tari." Perempuan ayu di samping Mentari menasehati.
Gadis kecil itu mendonggak. "Siapa, Nda?" tanyanya. Tepukannya telah berhenti, sekarang ia berjalan mendekat pada ibunya yang berjongkok menyambutnya lantas memeluk sang Bunda. Matanya memperhatikan Mentari yang tersenyum.
Alan duduk pada sofa, menonton televisi yang menampilkan kartun kesukaan adik bungsunya--Anin.
"Ini Kak Mentari, temannya Bang Alan," sahut sang Bunda.
"Kok, nggak pake keludung, Nda?" tanya Anin cadel, matanya terlihat mengerjap-ngerjap, mengemaskan.
"Doain, ya?"
Tangan gadis kecil itu menengadah, matanya memandang langit-langit. Lantas berucap, "Ya Allah, semoga Kak Tali pakai Keludung, bial cantik kayak Anin. Aamiin." Padahal saat itu ia tidak sedang berkerudung.
Ibunya meringis mendengarnya, lalu menggelengkan kepala. "Maaf, ya, Mentari. Anin emang gitu orangnya," pintanya pada Mentari yang mematung.
"Nggak papa, Tante."
Perempuan dengan senyuman menawan itu berdiri, melepaskan pelukkannya dari Anin membuat anak kecil itu berceloteh panjang.
"Udah sana nonton lagi, Bunda mau antar Kak Mentari dulu, ya," bujuknya pada Anin agar tidak ngambek, lantas tangannya mengandeng lengan kiri Mentari.
"Kemana, Nda?"
"Kamar dong. Dah, ah."
Mentari ditarik.
"Mau ikut. Bang Alan jahat."
"Yaudah, yuk!"
Mereka berjalan dengan celotehan Anin yang mendominasi, begitu lengking.
Pintu dengan cat coklat itu terbuka perlahan memperlihatkan isinya. Kamar ini didominasi oleh warna biru langit. Rapi dan bersih, itu kesan pertama yang dapat ditangkap Mentari.
"Nah, ini itu kamarnya kembaran Alan. Hari ini lagi nggak di rumah, soalnya nginap di rumah temannya yang lagi kemalangan," jelasnya sembari melangkah masuk, tentunya masih dengan terus menarik lengan Mentari agar mengikutinya.
Perempuan itu melepaskan pegangannya pada Mentari, ia sekarang beralih pada sebuah lemari besar, membukanya.
Memilah-milah lantas menarik beberapa. Ia berikan pakaian yang telah dilipat itu pada Mentari. "Kamu bisa pakai bajunya, ya. Itu kamar mandinya. Nanti kalau udah selesai, keluar, ya? Kita makan malam."
"Baik, Tante. Terima kasih banyak."
"Jangan lupa, nanti keluar, loh, ya," ujar perempuan itu sebelum menutup pintu.
"Ingat, loh, Kak Mentali!"
'Iih, Bunda, Anin belum selecai.' Anin memprotes ibunya yang terlalu cepat menutup pintu sedangkan ia belum selesai berbicara dengan Mentari.
«●»
Tuk. Tuk. Tuk.
Mentari mengetuk-ngetukan ujung jarinya pada meja di hadapan. Dirinya sedang bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang? Keluar dengan berhijab atau tidak? Jika tidak, ia malu, apalagi dihadapan Anin, bocah itu terang-terangan mendoakannya tadi. Jika iya, dirinya tidak sanggup.
Pakaian-pakaian yang tadi diberikan oleh perempuan setengah baya yang belum ia ketahui namanya itu ternyata dilengkapi dengan sebuah hijab instan. Berukuran lebar, membuatnya bergidik. Rasanya seperti memakai mukena dan ia tidak suka hal itu.
Tok. Tok. Tok.
"Mentari, ngapain? Tante masuk, ya?"
Sahutan serta ketukan pintu membuyarkan lamunan Mentari akan pilihan apa yang akan ia buat. Antara berhijab atau tidak.
Bergerak dengan tergesa menuju pintu. Menekan ganggangnya lantas menarik pintu itu, terlihatlah orang yang baru saja mengetuk. Halimah, perempuan setengah baya itu. "Iya, Tante? Maaf, lama."
Akhirnya ia memilih untuk tidak memakai hijab itu.
Mereka berjalan pelan menuju meja makan, dimana telah tersedia makanan yang siap untuk disantap. Mendadak perut Mentari bergetar disertai bunyi keroncongan. Ia lapar.
Meja bundar itu telah dikelilingi oleh Alan, Anin serta seorang lelaki dengan rahang dipenuhi cambang hitam. Mentari menundukkan kepala tatkala menyadari ada orang baru di sini. Rasanya tidak sopan berpenampilan begini, harusnya ia pakai hijab saja tadi.
Mentari di persilahkan duduk, berhadapan dengan Anin yang tersenyum lebar padanya. Mata besarnya tampak berbinar.
"Ayo, Mentari, dimakan. Jangan sungkan." Halimah mempersilahkan sambil berdiri tepat di samping suaminya--Ahmad, mengambil nasi.
Mentari mengangguk sambil tersenyum. Ditatapnya makanan yang terhidang di atas meja. Hanya makanan sederhana, tapi ia suka, sebab ia tidak makan sendiri.
"Temannya Alan, ya?" Laki-laki yang sedari tadi duduk di sebelah Halimah itu bersuara. Suaranya ngebas khas lelaki dewasa. Tangannya menerima piring yang telah diisi nasi serta lauk pauknya dari tangan Halimah.
"Adik kelas, Bi," jawab Alan sembari bergantian mengambil nasi untuk dirinya sendiri.
Laki-laki dewasa itu mengangguk-angguk.
Terjadi keributan kecil ketika tiba pada giliran Mentari mengambil nasi. Anin, anak kecil itu merengek untuk diperbolehkan mengambil kepala ikan. Ibunya melarang, sebab banyak tulang.
"Kok, dikit sekali lauknya? Yang banyak, dong, Tari." Halimah menyeru Mentari yang hendak menyuap nasi ke mulutnya.
"Nggak pa-pa, Tante."
"Mentari udah pernah makan ini, belum? Buatan tante Halimah, enak, loh. Om aja sampe ketagihan. Kasi, Nda." Ahmad menyodorkan sepiring gado-gado yang tampak mengiurkan pada istrinya agar memberikan pada Mentari.
Halimah memberikan beberapa sendok pada piring Mentari yang tampak lengang dari lauk pauk.
"Kebanyakan, Tante."
"Udah, makan aja."
Obrolan hangat terjadi di antara mereka. Keluarga itu ramah, sopan, dan yang pasti, menyenangkan. Mentari pernah merasakan hal seperti ini dulu, ketika ia masih tinggal bersama dengan kakek-nenek serta bibinya di kampung. Penuh tawa.
Malam itu juga setelah selesai makan malam dan melakukan beberapa hal, Mentari di antarkan pulang. Entah bagaimana jalannya acara makan malam itu, tapi yang pastinya Mentari merasa lelah, namun bahagia. Buktinya saja ketika ia telah menutup pintu kamarnya, ia langsung menjatuhkan tubuh pada ranjangnya. Tangannya mencari-cari guling lantas mendekapnya erat.
Tubuhnya begitu lelah, tapi ia bahagia. Ada secercah harapan di matanya sekembali dari keluarga itu. Keluarga yang harmonis dan menyenangkan. Ingin ia rasanya tinggal di sana lebih lama, tapi tidak diperbolehkan sebab bukan mahram-nya, katanya.
Mahram? Ia teringat untuk mencari arti kata itu, tapi bagaimana caranya? Ponselnya tidak ada padanya.
Berbagai hal berkelabat dalam pikiran Mentari. Sembari terus berpikir, ia memejamkan mata dan berharap besok bangun dengan keadaan yang lebih baik.
Ibunya belum pulang. Sudah selarut ini, entah kemana perempuan itu pergi. Keadaan ini sangat berbeda jauh dengan yang baru saja ia lalui di rumah seseorang tadi.
«●»
Pesan dan kesan, please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...