14. Pertemuan

62 5 0
                                    

Angin sepoi-sepoi membelai rambut Mentari yang ia ikat menyerupai ekor kuda. Berdiri di tepi balkon kamar dengan menumpukan kedua lengan pada besi pembatas. Pandangannya menuju langit yang menguning, menambah seronok berdiri di sana.

Berdiri di ketinggian delapan meter membuat perempuan yang memakai baju kotak-kotak itu dapat menyapu pandangan lebih jauh. Memperhatikan apa saja yang dapat tertangkap oleh mata besarnya.

Di ujung jalan, terlihat sepasang muda-mudi. Sang perempuan sedang marah, meneriakan nama-nama hewan pada laki-lakinya. Bahkan, tangannya telah menarik-narik rambut cepak laki-laki itu. Sedangkan laki laki itu hanya diam, menerima segala perlakuannya. Sebenarnya itu adegan yang lucu. Tapi, Mentari tidak tertarik untuk tertawa sedikitpun. Ia hanya melihat dengan hampa, seolah ada hal lain yang sedang ia pikirkan.

Dan memang benar. Ia melamunkan sesuatu.

Tadi, sehabis kembali dari rumah sakit. Mereka--Mentari dan Fajar-- berhenti sejenak di taman kota. Sambil menikmati bakso yang mangkal di sana, mereka sedikit berbincang-bincang. Mentari sedang tidak selera bercanda dan makan sebenarnya, itupun hanya karena dipaksa.

Lama Fajar memperhatikan adiknya itu mengaduk-aduk bakso dalam mangkok, tanpa terlihat berniat untuk melahapnya. Ia melepas napas lelah. Adiknya memang keras kepala, dari dulu hingga sekarang sama saja. Hanya karena ia tidak mau berhenti merokok, Mentari begitu marah padanya.

Ia berhenti merokok, itu pinta Mentari tadi ketika masih di atas motor. Tapi, rokok adalah hidupnya mana mungkin bisa ia lepaskan begitu saja. Rokok bagai telah mendarah daging dalam dirinya, sulit untuk dilupakan.

"Apa susahnya, sih?" Itu gerutuan Mentari sedari tadi. Menurutnya, berhenti itu mudah. Bagai membalik telapak tangan saja. Lihatlah dirinya, hanya sekali mencoba berikutnya tidak mau lagi. Selesai. Tidak perlu ribet seperti ini.

"Kita pulang." Fajar beranjak dari duduknya, ia ikut tidak berselera melihat Mentari yang hanya mengaduk-aduk bakso dan mengerutu. Merogoh dompet di saku celana, ia mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Menyelesaikan pembayaran.

Mentari telah melangkah duluan mendekat pada motor matic sang Kakak. Menunggu sambil memperhatikan lalu lalang orang-orang baik yang berjalan kaki dan berkendaraan. Namun, walau terlihat begitu, tapi dipikirannya hanya tentang Lala dan Fajar. Ia takut kakaknya itu ikut menderita seperti Lala.

Fajar datang dan mereka pulang dengan saling diam.

Itulah isi pikiran Mentari, memikirkan bagaimana caranya agar kakaknya itu dapat berhenti merokok untuk selamanya, ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Drt ... drt ....

Getaran dari ponsel yang tergeletak di atas pembatas membuatnya tersentak. Hanya sebuah pesan dari operator. Ia menghela napas. Ia kira kakaknya yang menelpon dan mengatakan akan berhenti merokok, atau Lala yang mengabarkan telah sehat. Ternyata tidak.

«●»

"Kak!" seru Mentari tatkala melihat kakaknya hendak ke belakang gudang. Ia tersenyum begitu lebar tatkala melihat Fajar berhenti dan menoleh padanya, langsung saja ia berlari mendekat.

"Merokok lagi?" tanyanya saat telah dekat. Napasnya sedikit ngos-ngosan sebab berlari beberapa meter. Ia tahu kapan kakaknya akan pergi merokok. Seperti sekarang, kedatangannya tepat waktu.

Fajar tidak menjawab, ia hanya menoleh seolah tidak mendengar. Melihat hal itu, semangat Mentari tidak luntur. Ia telah bertekad kemarin, jadi harus ia laksanakan.

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang