00 - Epilog

54 4 0
                                    

Desau angin pembawa awan gelap terasa mengelitik tekuk. Pertanda hujan lebat. Seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk bersantai di pantai menikmati matahari terbenam. Tapi sayang cuaca sedang buruk.

Seorang perempuan dengan tas di kepala melangkah tergesa. Ia harus cepat sebelum hujan benar-benar mengamuk.

"Assalamualaikum."

Tepat satu langkah melewati pintu rumah hujan turun dengan lebatnya. Perempuan berhijab lebar itu mengucap hamdalah sebagai rasa syukur karena tak ditimpa hujan deras.

Terdengar jawaban salam yang serempak. Semua orang di dalam sana mengumbar senyum menyambut kedatangannya.

"Mandi gih, nanti demam."

Perempuan itu mengangguk sebagai jawaban. Lantas meninggalkan ruang tamu yang hangat itu. Ia tidak sabar untuk bergabung ke sana, bercengkerama seperti biasanya.

"Udah telepon mama?"

"Udah." Perempuan itu telah kembali dari dapur. Baru saja selesai membersihkan diri.

Ia memang sudah melakukannya. Mamanya pun sudah mengizinkan ia menginap di sini, karena sekarang memang jadwalnya di sini. Ini telah mereka sepakati bersama. Sekali sebulan ia akan menginap di sini, di rumah sang Papa dan selebihnya di apartemen sang Mama.

"Ayo sini, kamu pasti dingin kan? Ini umi buatin coklat panas, kesukaanmu." Perempuan yang memanggil dirinya umi itu menyodorkan segelas coklat yang mengepulkan uap. Pertanda masih panas. Aromanya pun menguar, menyenangkan penciuman.

"Makasi mi." Ia tersenyum tipis, lantas menarik gelas itu. Menghirup aromanya lebih dekat.

"Mi, kok cuman buat Mentari aja? Fajar mana?" Lelaki berbaju koko itu merengek. Ia bersama sang ayah rencananya hendak ke musola untuk solat magrib, namun cuaca sungguh tidak mendukung. Jadilah ia masih di sini, menunggu hujan reda—yang entah kapan terjadi.

"Tuan rumah dilarang iri sama tamu," ujar Mentari sebelum menyeruput coklat panasnya. Sedangkan Fajar mendengkus, hendak membalas tetapi keduluan sang Ayah.

"Gimana acaranya sayang?" Sebagai pengalihan, agar tidak terjadi saling ejek lagi seperti sebelum-sebelumnya.

"Berjalan dengan baik, sesuai rencana." Mentari tersenyum lebar. Mengingat acara bazar buku yang ia ketuai berjalan tanpa kendala.

"Alhamdulillahlah. Kenapa sih nggak mau di jemput? Untung aja kan nggak kehujanan."

"Aku kan mau mandiri pa. Masa, apa-apa repotin orang mulu. Kan nggak enak." Mentari mengaduk-aduk cokelatnya perlahan. Ya, ia memang tidak pernah suka merepotkan siapapun sejak dulu. Mandiri sejak kecil membuatnya terbiasa walaupun sudah banyak yang peduli dirinya sekarang.

Allāhu akbar. Allāhu akbar!

Sayup gema adzan terdengar di antara bunyi hujan yang menderas. Sudah tidak ada harapan untuk pergi ke masjid. Henri berdiri dari duduknya, lantas beranjak melihat jalanan di luar rumah yang lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang melintas cepat.

"Sudah adzan. Ayo ambil wudhu, kita akan jamaah di rumah saja. Fajar yang jadi imam ya." Henri berlalu ke dapur, hendak mengambil wudhu duluan. Tanpa menunggu jawaban dari permintaannya barusan.

"Hah? Tap—" Fajar hendak protes. Tapi belum selesai ia bicara sang Ayah telah menghilang. Itu artinya, tidak ada penolakan.

"Aku doain semoga nggak salah bacaan. Aamiin," doa Mentari lantas mengusapkan telapak tangannya pada wajah.

"Ngejek."

"Dih, didoain malah ngatain."

"Nggak usah bertengkar, lebih baik jawab adzan kan, dapat pahala," lerai Aira.

"Nggak jelas Um," keluh Mentari.

"Makanya diam, sayang."

Bungkam.

Fajar menahan tawa melihat ekspresi Mentari yang cemberut.

Begitulah kehidupan yang di impikan Mentari. Walau tanpa sang Mama menyertai, tak apa. Setidaknya ia bisa merasakan kasih sayang ayahnya lagi. Dalam keluarga yang utuh.

Terimakasih, Allah.

Tamat.
——

Dahlah, sampai sini aja. Kalau ada yang mau ekstrapart komen ya.
Makasi udah baca.
Ambil yang baik, buang yang buruk.
Wassalam:)

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang