Setelah masa hukuman berakhir Mentari dan Fajar semakin dekat. Mentari-entah kenapa- suka menunggu Fajar ketika jam pelajaran telah usai di taman dekat gudang. Dan ketika Fajar melihat kedatangannya, maka mereka akan bercerita sebentar di teras gudang sebelum melangkah pulang dengan Fajar mengantar Mentari ke depan apartemen.
Hari ini seperti biasa.
Mentari duduk di jok belakang motor matic milik Fajar. Motor merah itu adalah satu-satunya kendaraan yang Fajar punya setelah motor sport-nya dijual sang ayah. Jadilah, dengan menurunkan sedikit gengsi Fajar mengendarai motor itu meninggalkan sekolah. Sebenarnya itu pula alasannya pulang terlambat dan datang terlalu pagi agar temannya tidak melihat kondisinya yang sudah melarat. Intinya gengsi masih merajainya.
"KAK, mau aku kenalin sama mamaku, nggak?" Mentari berteriak dari balik punggung Fajar yang fokus mengendarai motor di jalanan yang tidak terlalu ramai.
Mendengar teriakan tepat di sebelah telinga kirinya membuat Fajar sedikit meringis. Rasa-rasanya kuping terasa akan pecah mendengarnya. Tapi, karena tak ingin membuat Mentari menunggu terlalu lama balasan dengan cepat ia lontarkan. "Emang boleh?"
"Boleh dong. Nanti jangan langsung pulang dulu, ya. Mamaku pulangnya cepet, kok, hari ini."
"OKE!"
Motor terus melaju membelah jalanan yan makin ramai. Meliuk-liuk menyaingi pengendara lainnya, membuat Mentari berpegangan makin erat.
Seperti yang diucapkan Mentari tadi, bahwa ibunya akan pulang cepat hari ini. Benar. Dini-ibunya itu telah berada diambang pintu apartemen yang terbuka. Di ruang tamu telah duduk seseorang yang sedang mengobrol akrab dengan Mentari-anaknya. Di meja telah tertata secangkir teh dan setoples cemilan.
"Hei. Ada teman Mentari, ya?" ucapnya melangkah mendekat. Fajar yang melihat kedatangannya hanya terbengong sesaat begitu juga dengan Dini, masing-masingnya merasa ada sesuatu.
"Ma-ma?"
"Fa-jar?!"
«●»
Suara benda-benda berjatuhan menganggu tidur seorang bocah yang lelap. Matanya yang agak sipit membuka dan menutup, cahaya redup kamarnya tertangkap mata.
"Aku mau cerai!"
Suara keras yang berasal dai ruang tengah membuatnya berdiri, bersiap mengintip apa yang terjadi.
Terlihat oleh mata kecilnya, seorang perempuan melempar tatapan tajam pada laki-laki yang berhadapan dengannya. Laki laki yang masih memakai pakaian kerja itu menggeleng tak percaya.
"Apa salahku?" tanyanya si laki laki kebingungan. Pasalnya tidak ada hujan tidak ada angin langsung ada banjir, kok bisa? Masih dengan keheranan ia melonggarkan dasi yang mengikat lehernya agar tak lagi mencekik.
"Apa salahmu? Kau berselingkuh kau tau!? Atau jangan-jangan kau tidak tahu diri ketika sedang berselingkuh, ya? Hah. Pantas saja." Dengan suara serak perempuan yang berpakaian rumahan itu bersuara. Matanya mulai berembun.
"Apa? Bukannya kau yang selingkuh."
"Aku? Kau!" Telunjuk perempuan itu menunjuk tepat pada dada laki-laki berjas hitam itu dan sedikit mendorongnya.
Masing-masingnya tidak ada yang mau mengalah. Karena menurut mereka argumen mereka yang paling benar.
Anak laki-laki itu berhenti mengintip. Ia kembali ke tempat tidurnya yang empuk. Membawa matanya yang basah tidur lelap kembali. Tapi, mata kecil itu tak mau terpejam apalagi membawanya tidur kembali. Jadilah ia hanya menerawang tak jelas sampai keributan di luar mulai berkurang dan berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...