3. Janji

68 7 0
                                    

Jreng.

Bunyi petikan gitar diiringi nyanyian pengamen membuat Mentari tersadar. Sedari tadi hanya melamun yang ia lakukan. Tak mengacuhkan sama sekali lingkungannya, termasuk di samping kirinya.

Bau-bau memabukkan membuat Mentari menutup mata, mencoba tidur. Pengamen tadi telah turun, membawa wadah permen yang berisi uang recehan hasil dari lagunya yang sedikit menghibur penumpang.

Sekelabat wajah hitam dan hangus milik bibinya melintas. Tak kuasa Mentari menahan air matanya, ia biarkan saja cairan itu mengaliri pipi. Biarlah orang lain memandangnya kasihan, yang penting ia bisa melepaskan kepedihan ini.

Sesenggukan.

"Sayang, ada mama disini."

Sang ibu menarik kepala Mentari agar bersandar di bahunya. Ia tahu rasanya kehilangan. Apalagi yang pergi itu adalah adiknya sendiri, pasti ia juga merasakannya juga walau tak sama besar.

"Kenapa bukan aku saja? Kenapa? Tuhan itu nggak adil!" ungkap Mentari penuh emosi, tapi ia masih bisa mengendalikan volume suaranya.

"Tidurlah."

Mentari memejamkan mata, menangis membuatnya mengantuk. Dengan pipi yang basah, ia tertidur.

Bus berhenti di Pertamina dengan rem mendadak, membuat tubuh Mentari sedikit terdorong ke depan. Membangunkannya dari tidur yang belum seberapa sebab waktu tidurnya ia gunakan untuk menangis.

"Tari, Mama ke toilet dulu, ya? Mau ikut, nggak?" tanyanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan, tak lupa pula merapikan rambut panjangnya yang sedikit acak-acakan.

Mentari menggeleng pelan, membiarkan ibunya berlalu.

Dini Anita-ibu Mentari, seminggu yang lalu pulang ke kampung halamannya ketika mendengar kabar kematian adiknya yang mengenaskan. Disambar petir, sungguh suatu hal yang jarang terjadi. Dan juga, tujuannya pulang ke kampung sekalian untuk menjemput anaknya yang bisa dipastikan hanya tinggal sebatang kara di sana.

Dulu, ketika tahun pertama keluar dari penjara Dini hendak langsung membawa anaknya ke kota lagi. Tapi, ditahan oleh adiknya yang hanya seorang diri di kampung-suami serta anaknya telah meninggal dunia. Sekarang, ketika sang adik telah tiada maka tidak ada yang dapat menahannya untuk tidak membawa puterinya hidup di kota lagi. Dirinya telah punya apartemen di sebuah kawasan ibukota. Ia pastikan anaknya akan betah tinggal di sana.

Kakek-nenek Mentari telah meninggal ketika Dini masih mendekap di balik jeruji. Lalu dirinya diasuh oleh tantenya, Nini. Untuk menemani tantenya yang hidup sendirian itu-semenjak suaminya meninggal akibat kanker paru paru.

Selama di kampung Mentari sering bantu-bantu dalam mengelola sawah keluarga yang tidak terlalu luas. Dan sekarang sawah itu telah disewakan pada petani-petani kampung, sebab tidak ada keluarga yang mau mengerjakannya.

Setelah seminggu lamanya membujuk Mentari yang kukuh untuk tetap di kampung. Akhirnya hal itu tidak berakhir sia-sia, Mentari mau diajak ke kota dengan syarat dipertemukan dengan ayahnya kelak.

"Bentar lagi kita nyampe. Kamu udah siapin barang kita?" sapa Dini ketika telah kembali dari toilet. Ia mengambil duduk di sebelah anaknya. Sesaat kemudian, bus melaju pelan meninggalkan Pertamina.

"Hm."

Pandangan Mentari mengarah pada jendela di sampingnya, melihat keramaian jalanan kota besar.

"Mentari. Udah, jangan berlarut-larut gini." Dini memusatkan perhatian pada anak gadisnya yang memakai baju lengan panjang warna biru tua. Pandangan anaknya tidak berpaling sedikitpun padanya.

"Lihat mama, Tari."

Mendengar itu langsung saja pandangan itu berubah haluan. Hendak berbicara tapi diurungkan sebab Dini memeluknya, erat.

"Kamu bakalan betah, kok, di sini. Mama jamin." Semoga, sambungnya dalam hati. Dini memang tidak yakin dengan ucapannya barusan.

Airmata Mentari lagi-lagi mengalir. Entah kenapa.

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang