27. Permintaan

34 4 0
                                    

Mereka berhenti di lorong yang dipenuhi oleh para dokter dan suster yang berlalu lalang. Aroma khas rumah sakit menjadi pewangi penciuman. Mentari menatap tajam Fajar, seolah tak membiarkan laki-laki itu untuk tidak menjawab pertanyaannya barusan.

"Gue-gue ...."

Laki-laki itu tampak ragu dan tak yakin. Sepertinya otaknya masih menganalisa jawaban yang akan ia lontarkan.

"Apa? Kok gugup gitu sih? Lo kenapa?"

"Gue-pengen-kayak-lo!" Dalam satu tarikan napas dan seolah tanpa ada jeda sebab laki laki itu mengatakannya dengan sangat cepat seolah tak ingin ada yang mendengarnya.

"Kayak gue gimana, sih, maksudnya?" Kali ini kerutan di kening Mentari makin menjadi. Heran tentu saja. Menebak-nebak kemana arah pembicaraan mereka kali ini dan ia merasa tak menemukan jawabannya.

"Hi ... h." Suara Fajar teredam oleh lalu lalang dokter dan perawat yang tergesa-gesa-entah hendak kemana. Hanya samar-samar yang masuk ke pendengaran Mentari. Tak jelas.

"Ha? Apa?"

Fajar menarik napas pelan seperti menyakinkan dirinya sendiri akan hal yang akan ia ucapkan sebentar lagi.

"Gue mau coba hijrah." Rasanya plong. Pikiran yang telah berkecamuk sejak beberapa hari ini akhirnya terungkap juga. Ya, setelah melewati kejadian-kejadian tak terduga bersama adiknya itu, hidayah datang juga padanya. Apakah ia terlambat? Semoga saja tidak. Sebab ia belum membalas jasa-jasa ibu tiri yang begitu sabar menghadapinya selama ini.

"Yang bener lo?!" Mentari bertanya tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Ia hanya mencoba untuk menyakinkan diri bahwa hal yang barusan ia dengar sesuai dengan yang di ucapkan kakaknya itu. Mana tahu pendengarannya sedang bermasalah, bukan?

"I-iya. Gue pengen nyoba nerima takdir gue juga, kayak lo. Gue pengan nyoba jadi anak baik. Gue pengen balas kebaikannya Umi-"

"Um-mi?" Belum sempat Fajar menyelesaikan ujarannya sudah disela dulu oleh Mentari.

"Umi Aira, dia biasanya manggil dirinya sendiri Umi kalau ngomong sama gue."

Mentari mangut-mangut sebentar. "Lo yakin mau hijrah?" lanjutnya kemudian. Tak ingin nanti sang kakak plin-plan seperti dirinya dulu yang mudah sekali berputar haluan.

"Lagi gue usahain."

"Hmm... gue boleh manggil umi juga nggak? Soalnya dia sosok yang gue damba banget di hidup gue. Udah baik, punya aura positif, lihat mukanya bikin adem, terus ahli ibadah juga." Mentari mengungkapkan kegundahannya. Sudah sejak lama ia kepincut perempuan yang berstatus ibu tiri kakaknya itu.

"Ayok ketemu umi." Fajar mengajak secara spontan. Lagipula rasanya ia tak sabar untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah ia perbuat dulu. Sungguh anak durhaka. Bukannya bersyukur punya ibu yang baiknya nauzubillah itu, malah khufur. Bener-bener bodoh, bukan?

"Tapi gue nggak mau ketemu ... papa."

Kalimat Mentari terdengar ragu di akhirnya. Ia masih menyimpan memori buruk tentang laki-laki itu. Rasanya ia tak akan baik-baik saja jika mereka bertemu lagi. Trauma, begitulah istilahnya.

"Kita bakal janjian. Nanti gue kabarin, ya."

"Makasih ya kak Fajarnya Mentari. Seneng deh." Mentari tersenyum lebar pertanda bahwa ia sedang berbahagia. Dan lupa, bahwa baru saja ia mendengarkan cerita menyedihkan tentang sahabatnya.

"Apaan sih lo, alay!"

"Tuh kan. Males ah." Mentari menghentakkan kakinya dan jalan menjauh. Sebal tentu saja. Padahal baru saja senang, eh, udah kesel lagi aja.

"Gambek aja terus." Fajar terkekeh geli menatap tingkah sang adik yang masih kekanak-kanakan. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengannya, ia pikir tak ada garis takdir yang akan menemukan mereka. Ternyata ... Allah memang adil.

Tidak salah bukan langkahnya kali ini? Bersyukur, masih ada kesempatan untuknya memperbaiki segalanya saat ini dan itu belum terlambat.

«●»

Mentari melangkah tergesa-gesa menuju sebuah kafe. Jantungnya terasa bertalu-talu semenjak kakaknya mengatakan bahwa Umi menunggu di sebuah kafe. Ia harap pertemuan mereka kali ini tidak menjadi buruk seperti yang pertama. Mengingat itu membuat hati Mentari nyeri.

"Assalamualaikum?"

"Hai, Waalaikumussalam. Sayang. Ayo sini duduk."

Mentari menduduki bangku yang dibukakan untuknya. Lantas tersenyum dengan canggung.

"M-makasi."

"Nggak usah gugup juga kali." Fajar sewot. Ia duduk berhadapan dengan adiknya itu.

"Apaan sih lu kak." Mentari mendengus. Bisa-bisanya laki-laki itu mengejeknya di saat ia sedang sibuk mengatur detak jantung saking bahagianya keinginannya terpenuhi bertemu Aira lagi.

"Udah. Jangan berantem dong. Katanya mau berubah." Aira menengahi perdebatan kecil itu. Ia tidak mau masalah itu berakhir besar nantinya. Makanya dihentikan secepat mungkin.

"Maaf umi." Fajar menunduk. Setelah beberapa minggu membiasakan diri jadi anak penurut dan soleh, akhirnya ia bisa sedikit lebih sopan. Tentu saja hal itu hanya berlaku pada orang tuanya. Mentari tidak termasuk di dalamnya karena tanpa menganggu Mentari rasanya hampa.

"Um, aku boleh nggak manggil umi juga?" Mentari berujar pelan. Jantungnya masih saja terus berdetak cepat saat mengucapkan kata-kata itu. Gugup.

Aira terkekeh pelan sebentar. Anak sambungnya ini sungguh menggemaskan.

"Boleh dong sayang. Kalian berdua itu anak umi. Oke." Aira mengusap kepala Mentari yang tertutup hijab. Sejak awal mula bertemu ia memang sudah menaruh sayang pada perempuan ini, namun takdir seolah menjauhkan mereka. Sekarang akhirnya bisa ia berikan pada anak gadis yang telah kekurangan kasih sayang sejak kecil ini.

Mentari semakin gugup. Rasanya jantungnya hendak copot saking cepatnya berdetak. Menyenangkan mendengar suara lembut itu masuk ke telinganya ditambah pula dengan usapan di kepala. Seumur-umur ia tidak pernah merasakan ini, setahunya. Sebenarnya Dini pernah melakukan hal yang sama ketika Mentari sakit dulu, sayang gadis itu tidak tau.

"Mau pesan apa sayang? Kita ngobrolnya sambil makan aja ya." Aira membuka daftar menu yang baru saja diberikan pelayan. Memilah-milah yang ia inginkan.

"Aku terserah aja."

Baru saja mentari mengatakan kalimat itu, seseorang datang. Mentari melotot ketika dia menduduki kursi kosong di sebelahnya. Kemudian, Mentari melotot pada Fajar yang duduk di hadapannya seperti meminta jawaban terhadap apa yang terjadi. Sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum lebar layaknya seseorang yang memang menantikan pria itu datang.

Yang datang itu adalah ayahnya, kalau boleh ia menyebut begitu. Tapi sepertinya tidak akan pernah dibolehkan oleh sang pemilik nama Henri itu. Tak akan pernah dan karena itu, ia benci dia.

Brak.

Mentari berdiri dengan tergesa. Bunyi kursi yang ia geser membuat banyak pasang mata menoleh.

Hati Mentari langsung terasa nyeri, tak peduli lagi dengan pandangan terkejut orang-orang.

Kenapa mereka tega menjebakku begini? Mereka tidak mengerti rasanya menjadi aku.

Mata perempuan itu seketika berkaca-kaca. Sesak. Ia benci mereka semua. Ikrarnya dalam hati.

Lantas ia pergi tanpa kata permisi. Ia tidak mau lagi sakit hati. Sungguh sakit rasanya. Ia tidak berbohong akan hal itu.

"Tari!" Tiga suara. Dan Mentari tak ingin berbalik, atau mungkin, tak akan pernah.

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang