17. Hilang

48 5 0
                                    

Pagi kembali menjelang. Dingin yang menusuk tulang membuat perempuan yang tidur tanpa selimut itu menggeliat. Ia lupa menyetel AC sebelum tidur semalam dan juga melupakan memakai selimutnya.

Ia mendesis.

Matanya terbuka perlahan, lantas mengedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke rentina mata.

Bangkit, lantas merengangkan otot-otot yang kaku. Menguap.

Tidur nyenyaknya begitu menyenangkan. Tak seperti biasanya. Kali ini ia seperti terlahir kembali dengan pikiran yang fresh tanpa beban.

Jam di nakas memperlihatkan pukul lima. Beranjak, melangkah menuju balkon kamarnya. Sang fajar telah mulai mengintip, menandakan pagi telah datang.

Sayup suara azan mengalun rendah.

Dingin. Ia kembali masuk dan melangkah menuju kamar mandi.

Bulir-bulir air nan hangat membasahi tubuhnya. Entah kenapa ingin saja rasanya ia mandi di saat jam segini, seperti dulu di kampung. Terasa menyejukkan.

Setelah selesai berberes, ia duduk di hadapan cermin. Menatap wajah di hadapannya yang entah sebab apa bisa sebersinar kali ini. Wajah itu seperti dulu, ketika aroma perdesaan masih tercium oleh hidungnya. Iya, sama. Persis.

Apa karena ia telah menuntaskan rindunya, semalam? Melaksanakan shalat kembali. Jujur, baru kali itu ia mau melaksanakannya lagi, setelah berbulan-bulan pergi dari kampung.

Entah karena paksaan orang di sekitarnya atau kerinduannya yang membuncah, ia tidak tahu pasti. Yang pasti, ketika dirinya diajak untuk melaksanakan shalat berjamaah oleh Halimah ia menurut saja, tanpa penolakan sama sekali.

Sekarang matanya berpaling, menuju pada lemari di sebelah cermin. Di sana, di dalamnya mukena itu tersimpan. Mukena pemberian bibinya, Nini.

"Jagalah mukena ini dengan selalu memakainya, Nak."

Nasehat itu melintas di ingatannya, nasehat dari sang Bibi saat memberikan mukena dengan motif bunga di tepi itu padanya.

Ia juga masih ingat apa reaksinya pada saat itu. Melompat-lompat kegirangan, bagaimana tidak? Mukena itu adalah hal yang begitu ia idam-idamkan sejak pertama kali melihatnya di etalase toko. Begitu indah.

Huft.

Napas berat itu keluar begitu saja tatkala memori lama tergali lagi. Lukanya.

Beranjak, mengambil pakaian di lemari. Bersiap sekolah.

***

Tok. Tok.

"Mentari, buka! Ini ada Fajar nungguin di depan," ujar Dini di hadapan pintu kamar anaknya. Ia semalam pulang hampir tengah malam dan bangun ketika mendengar bel berbunyi berkali-kali, jadi ia tidak tahu bahwa si pemilik kamar yang saat ini ia ketuk telah keluar dari tadi.

"Mentari?" tanyanya sambil menutup mulut yang menguap. Kantuknya belum reda ternyata.

Ceklek.

Sebab tak ada sahutan sama sekali dari dalam, ia berinisiatif untuk menekan handel pintu.

"Tari?"

Terlihatlah di dalam, keadaan kamar yang rapi dan tanpa penghuni.

"Loh, kemana? Masa udah berangkat?" gumamnya pelan tanpa jawaban, mengamati kamar itu sesaat lantas menutup pintu kembali.

Dengan tampilan acak-acakan itu Dini kembali menghampiri ruang tengah, tempat dimana anak sulungnya sedang duduk menikmati snack.

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang