Bising.
Ruangan ini penuh dengan suara-suara tidak jelas. Bagai dengungan lebah. Tempat ramai memang selalu begitu, sepertinya. Di kelas yang manusianya hanya dua puluh limaan saja sudah begitu bising, apalagi kantin.
Waktu sekarang memang saat-saatnya kantin ramai. Dipenuhi oleh pengunjung yang tidak sempat sarapan sebelum berangkat sekolah, Mentari contohnya. Dengan lahap ia menyantap nasi goreng yang baru saja datang.
Mentari memang duduk diantara orang-orang, tapi ia sendiri. Dirinya bagaikan penumpang saja diantara kelompok mereka. Mereka mengobrol sedangkan perempuan itu diam seolah tak ada di sini. Lingkungan memang telah membuatnya menjadi orang yang pendiam.
Suasana riuh itu masih mendominasi sampai Mentari melangkahkan kaki pergi. Muak sekali dirinya berlama-lama di sana. Menyebalkan, begitulah.
Tanpa senyuman di wajah ia melintasi koridor-koridor yang sepi dan ramai. Biarlah dirinya di cap sombong, toh, itu tidak berpengaruh baginya.
Di persimpangan menuju kelasnya, langkahnya terhenti. Bukan karena ada sesuatu yang menghalangi jalannya, tapi sebab seseorang yang duduk di bangku depan kelasnya. Fajar, laki-laki yang katanya, kakaknya itu.
Dengan langkah tergesa dan terburu-buru Mentari berbalik arah. Entah hendak kemana, tapi yang pasti ia tidak ingin ke kelas saat ini.
Tapi ....
Buku diary itu ... bagaimana?
Dengan terpaksa, ia membalik langkah lagi. Kakinya melangkah dengan ragu menuju kelas.
"Ehem!"
"Tari! Dengarin dulu."
Mentari tak bersuara, ia hanya berbicara dengan isyarat mata agar lawan bicaranya itu mengikuti langkahnya.
"Kemana, Ri?"
Diam, Mentari seolah bisu untuk sekedar mengeluarkan sedikit saja bunyi. Ia benar-benar tidak berminat bertatap muka dengannya, tapi ia mesti menanyakan tentang buku itu sekarang. Tidak ada waktu untuk menunda lagi, ia takut rahasia tentang hatinya terbongkar.
"Tari-."
"Mana?" Dingin dan ketus.
Langkah Mentari berhenti, lantas berbalik arah, menghadap Fajar.
"Apa?"
"Buku."
"Buku apa, Tari?"
"Tidak usah pura-pura tidak tau!"
"Buku, apa?"
"Diary!" Volume suaranya meninggi, bahkan tangannya seperti gatal hendak memukul--sebab terlalu geram dengan pembicaraannya kali ini.
Muak!
"Warna merah?"
Mentari tak mengeluarkan suara, ia hanya mendelikan mata sambil terus mengontrol emosinya yang sedang naik.
"Kalau itu, sih, ada."
"Mana?!"
"Nanti, jangan marah lagi, ya?"
"Lo pikir, mudah?"
"Ri, gue udah bilangkan, kalau gue-,"
"Kasi sama gue, sekarang!"
"Gue bakal berhenti merokok."
"Gue cuma butuh buku gue."
"Ri, gue mohon dengerin dulu penjelasan gue."
"Kalau lo nggak mau ngasih, bilang! Biar gue bisa pergi, gue muak lihat muka lo! Mirip dia!" Itu teriakan Mentari sebelum pergi dengan berlari, kembali ke kelasnya, meninggalkan Fajar yang termangu di lorong sepi itu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...