"Lalastri Aisyah!" Bu Lani berseru. Ia sedang mengecek kehadiran siswa-siswinya pagi itu. Nama Lala menjadi penutup, namun sahutan hadir tidak ia dengar.
"Absen!"
Bu Lani mendongakkan kepalanya yang menunduk. Pandangannya langsung menyapu lalu berhenti pada Mentari, yang notabene-nya teman sebangku Lala. "Absen? Mentari, kamu tahu penyebabnya?"
"Tidak," sahut Mentari sambil menggelengkan pelan. Dirinya kembali menekuri buku paketnya yang telah terkembang. Membolak balik halaman tidak tentu. Ia bosan, tak punya teman seperti yang lalu kembali. Padahal Lala belum lama ini duduk bersamanya, ia telah merasakan sedikit perbedaan.
"Nanti cari tau, ya!?"
Bu Lani menutup buku absensi siswanya lalu beralih pada buku tebal dengan sampul bergambar kubus.
"Baiklah, anak-anak. Buka bukunya. Kita mulai pelajaran." Dan kelas mendadak hening. Mentari hanya diam membisu, memperhatikan papan tulis dengan tak berminat. Pikirannya mengelana pada teman sebangku yang tidak hadir.
"Bu, izin. Mau ke toilet, " seru Mentari, membuat guru matematikanya yang sedang menulis di papan itu sedikit menoleh dan mengangguk pelan.
Dengan langkah cepat Mentari melewati lorong-lorong kelas yang sepi. Kebanyakan siswa sedang belajar di dalam, hanya beberapa saja yang masih berkeliaran, Mentari contohnya.
Sambil berlari Mentari meraba saku bajunya yang berisi ponsel. Takut jatuh akibat dirinya yang berlari, 'kan rugi kalau sampai rusak.
Sampai di dalam toilet dengan tak sabar Mentari mengesek-gesek layar ponselnya. Perasaannya tidak enak. Tak biasanya temannya itu tak sekolah apalagi tanpa surat pemberitahuan mengikuti.
Tut. Tut. Tut.
"Aah. Kemana sih? Bikin gue kesel aja pagi-pagi," racau Mentari. Beberapa kali ia menelpon, namun tak satupun diangkat. Mood-nya yang tadinya membaik mendadak ambruk lagi. Padahal tadinya ia ingin bercerita pada Lala yang kepo itu, tapi malah libur orangnya.
Jemarinya kembali menari di atas layar ponsel. Mencoba untuk terakhir kalinya menelpon. Jika ini tidak diangkat juga ia akan kembali lagi ke kelas. Lagi pula, tidak baik meninggalkan kelas saat sedang pelajaran matematika, imbasnya ke pemahamannya nanti yang akan bermasalah. Kan susah.
[Hallo? Assalamualaikum?] Suara ibu-ibu dari speaker ponsel membuat Mentari mengernyit, apakah ia salah nomor? Atau jangan-jangan ponsel Lala dicuri?
"Ha-halo? Ini siapa, ya?" Niatnya mau nyerocos, eh, tidak jadi. Jadinya, malah tergagap-gagap. Takut salah bicara, nanti dicap tidak sopan sama orang tua. Nggak banget, bagi Mentari.
[Saya ibunya Lala. Kamu temannya, ya?] Suara lembut itu kembali mengalun, menyapa telinga kiri Mentari. Membuat pikiran buruknya terbuang.
"I-iya, tante. Lalanya, ada? Kenapa, ya, kok absen?"
[Lala sedang sakit. Tante baru mau minta izin libur untuk Lala, eh, kamunya nelpon. Tolong bilangin, ya, sampe suratnya datang.]
"Baik, tante. Emangnya, Lala sakit apa?"
Tut. Tut. Tut.
Ponsel Mentari mengelap disertai dengan terputusnya sambungan. Ia mendengus kesal. "Aah, habis batre pula!"
«●»
Sepinya jalanan membuat motor yang ditumpangi Mentari ngebut. Kedua tangannya melingkar erat di pinggang pengendara, kakaknya-Fajar. Pulang sekolah ia memang berniat pergi ke rumah Lala, tapi hanya saja kakaknya itu mau ikut. Katanya 'takut Mentari hilang lagi.' Jadinya dia yang menjadi tukang ojek dadakan Mentari.
"Kak! Pelan-pelan, lo mau gue mati!?" teriak Mentari membuat telinga Fajar berdengung.
Seketika laju kendaraan sedikit berkurang. Mentari bernafas lega, dan pegangannya pun sedikit longar.
"Maaf! Khilaf!" balas Fajar juga dengan berteriak.
Motor matic itu terus melaju, membelah jalanan yang tak begitu ramai. Sebelum sampai ke rumah Lala mereka berhenti di sebuah swalayan. Sekeranjang buah-buahan mereka beli sebagai buah tangan. Namun, ketika telah sampai di depan rumah Lala hanya rumah kosong yang menyambut mereka berdua. Berulang kali bel ditekanpun pagar itu tidak jua terbuka.
"Dek, cari siapa?" Seorang perempuan paruh baya datang menghampiri ketika Mentari mulai lelah memencet bel begitu, pun dengan Fajar yang memperhatikan.
"Ini rumahnya Lala 'kan, bu?" tanya Mentari. Ia takut salah alamat.
"Oo iya." Perempuan itu mengangguk yakin pada Mentari. Tangannya menjinjing kantong plastik besar, kemungkinan selesai belanja di pasar.
"Penghuninya mana, ya?"
"Lagi di rumah sakit. Soalnya Lala lagi dirawat."
Mendapatkan informasi begitu Mentari dan Fajar langsung tancap gas menuju rumah sakit yang dimaksud perempuan paruh baya itu.
Mentari was-was, kepalanya penuh dengan pertanyaan, apa gerangan penyakit yang diderita oleh Lala sehingga mengharuskan dirinya dirawat dan membuat ibunya lupa mengirim surat.
Di ruangan tempat para pengidap penyakit dalam bersemayam, salah satunya diisi oleh Lala. Mentari tak pernah menyangka Lala akan demikian, selama sebulan ia berteman dengan gadis itu tidak ada sekali pun ia melihat Lala kesakitan. Tidak seperti dirinya yang bisa pingsan hanya karena belum sarapan.
"La, lo kenapa?" sapa Mentari kala meletakkan bawaannya pada nakas di samping ranjang Lala. Lala sedang terbaring dengan infus tertanam di tangannya. Terlihat menyedihkan. Matanya tertutup, terlihat begitu tenang.
"Lala mengidap kanker paru-paru, dia perokok pasif sejak tinggal dengan pamannya, dulu." Itu bukan jawaban Lala, tapi ibunya. Membuat Mentari tertegun lantas memandang Fajar yang berdiri di belakangnya.
Mentari teringat sesuatu.
«●»
Pesan dan kesan, please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...