23. Bukan Dia

30 4 0
                                    

Bel pertanda istirahat baru saja berdering keras. Dalam sekejap para siswa berhamburan keluar kelas, tergesa-gesa menuju kantin, seolah takut tidak kebagian makanan-maklum perut mereka telah keroncongan sedari tadi.

Fajar mencegat langkah adiknya di pintu kelas. Perempuan itu baru saja hendak menghindar lagi, tapi keburu pergelangan tangannya ditarik. Dan di atas telapak tangannya itu, buku diary yang kemarin begitu dicarinya diletakkan. Tentu saja Fajar yang melakukannya.

"Udah gue baca. Nih, gue balikin," ujarnya enteng tanpa merasa bersalah karena telah menyimpan buku itu tanpa seizin pemiliknya, ditambah pula dengan membacanya. Berlipat gandalah, kesalahan laki-laki itu di mata Mentari.

"Ternyata sebagai cewek judes, adek gue ini juga alay ya," sambungnya dengan cengengesan di akhir kalimat. Oh, ayolah ia hanya sedang membuat suasana agar tidak kaku.

"Apaan sih!"

Mentari mendelik sambil mendekap buku tersebut ke dadanya. Takut diambil orang lagi lantas membaca kalimat alaynya. Laki-laki itu benar, ia memang alay, hanya saja malu mengakuinya.

Mentari berbalik masuk lagi, ia menuju bangkunya untuk menyimpan buku itu. Tidak peduli pada laki-laki di belakangnya mengikuti.

"Lo suka sama siapa? Kasi tau guelah, biar gue comblangin kalian. Mau nggak?"

Mentari mendengus kasar sambil memasukkan buku diary pada tas. "Nggak!" sewotnya.

"Dih, masih ngambek. Senyum dikit napa sih," bujuk Fajar terus-menerus. Membujuk orang keras kepala memang sangat menguras tenaga sebenarnya, tapi apalah daya, ini adik satu-satunya. Kalau banyak mah biarin aja. Sungguh, jangan di tiru!

"Ayolah, Tar. Lo kan udah tau kebenarannya, jangan keterusan begini. Lo mau gue ngambek?"

"Dih, cowok kok ngambekan."

"Haha. Tuh kan, lo tambah jelek kalau judes."

Mentari mendelik tajam. Mendengar candaan kakaknya itu yang sama sekali tidak lucu.

"Oke-oke. Sekarang kita baikan, ya?"

Mentari lagi-lagi tidak menjawab, ia memilih acuh. Melangkah keluar.

"Ayuk ke kantin." Fajar cepat merangkul bahu Mentari, membawanya jalan

"Apaan sih, rangkul-rangkul?" ujar Mentari sembari menghentikan langkah.

"Ama adek sendiri, emang kagak boleh?"

"Nggak!"

"Ya udah. Nggak usah ngegas juga dong."

Mentari tercenung. Sedikit merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya barusan. Ngegas? Apakah dirinya terlalu keras bersikap? Tapi, ia hanya sedang berusaha untuk memberi laki-laki itu pelajaran saja.

Fajar telah menganggu privasinya dengan membaca buku diari miliknya. Sedangkan ia tidak suka privasinya diganggu oleh siapapun. Termasuk oleh kakaknya sendiri, apalagi laki-laki itu menjadikannya lelucon. Sungguh tidak lucu sama sekali bagi Mentari, ia malah seperti diremehkan. Dan ia benci itu. Sangat.

Tanpa menyahuti ucapan Fajar yang cukup menambah kadar ketidaksukaannya, Mentari melangkah lebar menuju kantin. Tak perduli sama sekali dengan Fajar yang mengerutu tak jelas di belakangnya.

'Biarkan saja,' pikirnya sembari mempercepat langkah.

Langkah kaki Mentari memelan ketika memasuki area kantin. Suasana ramai nan riuh menyambutnya. Kantin dipenuhi oleh para pelajar yang tampak bercengkerama dengan teman-temannya. Cukup menyebalkan sebab mereka terlalu berisik bagi Mentari.

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang