19. Pelukan

46 5 1
                                    

Hari ini Mentari tidak sekolah, ibunya melarang. Tentu saja, anak perempuannya itu belum sepenuhnya sehat. Masih sedikit lemas, walau tubuhnya tak lagi panas.

Hari ini pula, Dini memilih libur dari bekerja, ia ingin bersama anaknya. Kapan lagi, bukan? Selama ini ia terlalu sibuk, pergi pagi, pulang malam. Bahkan pada hari libur pun hanya kadang-kadang ia berada di rumah. Sungguh wanita karier yang sangat sibuk.

Dini membuka pintu kamar Mentari yang tertutup setelah dipersilahkan oleh si pemilik kamar, dilihatnya anaknya itu sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia mendekat lalu duduk di tepi ranjang.

"Tari, pagi ini mau sarapan apa? Coba, bilang sama mama," tanyanya sambil mengecek suhu badan Mentari dengan menempelkan punggung tangan pada dahinya. Memastikan suhu tubuh Mentari tak lagi panas.

"Terserah Mama aja, deh. Aku nggak selera milih," jawab Mentari dengan lesu.

"Hm, kalau gitu bubur ayam, ya?"

"Nggak, ah. Kemarin, kan, udah makan bubur, masak makan bubur lagi. Bosenlah."

"Tadi bilangnya terserah Mama, sekarang nolak. Gimana, sih?" Dini gemas, ia bahkan mencubit hidung bangir milik Mentari saking gemasnya seperti memperlakukan anak kecil.

"Iih, Mama!" Sambil melepaskan cubitan itu, Mentari memasang tampang kesal dan cemberut.

Dini terkekeh sebelum bertanya kembali. "Ya udah, kamu maunya apa?"

"Nasi uduk, deh."

"Beneran, ya? Nanti dihabisin, loh."

"Kalau enak, udah pasti."

"Ngeremehin Mama, ya? Kemarin siapa yang ngabisin bubur buatan Mama coba? Siapa?"

"Iya-iya, masakan mama enak."

"Nah, gitu dong."

"Eh, Ma!"

Dini sudah hendak beranjak, namun panggilan Mentari membuatnya membatalkannya.

"Apa?" tanyanya.

"Aku bantuin, ya?" Bertanya begitu, Mentari memasang senyum lebarnya untuk memikat sang Mama.

"Emang udah kuat?"

"Kuatlah, kalau sekolah pun udah bisa kalau Mama bolehin."

"Mama nggak percaya, tuh."

"Terserah, Mama, deh, yang penting aku sekarang mau bantuin Mama masak."

"Okelah, cus, ke dapur."

Jadilah mereka berperang di dapur sambil mengobrol santai memanfaatkan hari libur mereka.

Waktu telah beranjak menuju pukul sepuluh. Mataharipun sudah bersinar terang.

Dua perempuan sedang duduk di bangku balkon apartemen, sesekali tawa terdengar dari obrolan mereka. Sepertinya, hari ini adalah hari yang begitu bahagia bagi mereka. Ibu dan anak itu telah dekat kembali, tak ada lagi rasa canggung diantara mereka, jarak itu telah musnah hanya dalam beberapa jam saja.

"Sayang! Bosen, nggak, di rumah?" ujar Dini setelah menyeruput minuman dinginnya.

"Kalau kayak gini, sih, nggak. Kan ada mama." Mentari sangat senang, ini yang ia inginkan selama ini, Mama bersamanya, tapi ... ayahnya? 'Bajingan itu!'

"Kamu kan udah mendingan, udah bisa bantuin Mama masak juga. Gimana kalau kita jalan-jalan? Shopping gitu."

"Boleh, sih."

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang