4. Luka

59 7 0
                                    

Hari ini, hari kedua Mentari menginjakkan kaki kembali di kota besar. Terasa begitu berbeda olehnya, suasana desa dengan kota, terutama penghuninya.

Di sini ia tidak punya teman, kecuali mamanya sendiri. Ia tidak keluar dari apartemen ini kemarin, hanya berputar di ruangan. Memeriksa setiap tempat, memperhatikan ini dan itu. Layaknya anak kecil yang baru datang ke tempat baru.

Dini seharian itu mengenalkan banyak hal pada anaknya. Maklumlah, peralatan di desa sedikit berbeda dengan di kota.

Di desa, Mentari yang biasanya memasak pakai tungku dan kompor minyak harus membiasakan diri untuk memakai kompor gas di sini. Walau tidak terlalu sulit untuk memakainya, tetap saja, ada yang berbeda rasanya.

Hari ini rencananya mereka akan ke suatu tempat, tempat dimana janji Dini ditunaikan. Apalagi kalau bukan bertemu ayahnya. Huh, Mentari sangat menantikan hal ini sedari dulu. Senyum bahagia tidak dapat ia sembunyikan. Momen ini cukup mengalihkan kesedihan perempuan itu atas kematian Nini.

Pagi-pagi sekali ia telah bangun, berdiri di depan pintu kamarnya yang berbatasan langsung dengan balkon. Ia tidak berniat berdiri di balkon karena pagi-pagi begini udara di luar sedang sangat dingin.

Senyumannya terbit begitu lebar. Bahagia. Ia telah merancang skenario yang akan terjadi nanti. Bagaimana respon ayahnya ketika ia datang dan memperkenalkan diri sebagai anaknya. Lalu ayah akan memeluknya erat dan bertanya 'apa kabar, Sayang?' Pasti menyenangkan.

Keindahan kota di pagi hari ini cukup memanjakan matanya, kerlip lampu rumah-rumah penduduk menambah warna.

Hari semakin cerah, Mentari lantas beranjak dari tempatnya berdiri. Ia harus cepat membersihkan diri dan bersiap-siap. Sebentar lagi akan bertemu dengan ayah, jadi ia harus lebih dari biasanya. Sebenarnya mereka akan bertemu nanti malam, sekita pukul tujuh. Hanya saja perempuan itu tidak mau momennya ini menjadi buruk hanya karena ia tidak bersiap sedari awal.

Selesai dengan membersihkan dirinya, ia duduk termenung di kursi meja makan yang terletak di dapur. Berpikir, bertemu seseorang itu harusnya membawa sesuatu 'kan? Apalagi ini ayahnya. Hal apa yang seharusnya ia bawa untuk buah tangan. Hm, bagaimana kalau buah saja? Mendadak kata buah terbesit pada benaknya. Bukan ide yang buruk, kan?

"Ma ... udah bangun, belum?" teriaknya memanggil sang ibu, ia yang sedari tadi duduk di kursi itu tidak melihatnya sekalipun.

Mentari merengut kesal. Bisa-bisanya Sang Ibu belum jua bangun. Matahari telah terbit sedari tadi, tetapi orang yang ditunggunya belum juga menampakan diri.

Tak tahukah ibunya itu, bahwa ia sangat menantikan hari ini. Bertemu ayah merupakan impiannya sedari kecil. Lantas, saat harinya tiba kenapa ada saja kendala yang membuatnya merengut jengkel.

Pintu apartemen terbuka, masuklah seorang perempuan dalam balutan jaket. Wajahnya penuh keringat. Tak lain dan tak bukan ia adalah Dini.

"Loh, dari mana, Ma?"

"Eh udah bangun, ya. Mama abis olahraga di luar tadi," jawabnya sembari melepaskan jaket tebal itu dari tubuhnya.

"Aku kirain masih tidur."

"Nggaklah. Mama mandi dulu, ya?" pamitnya masuk ke kamar. Apartemen ini memiliki dua buah kamar, masing-masingnya berisi satu kamar mandi. Jadi, tidak perlu repot masuk-keluar sana-sini.

«●»

Matahari telah tenggelam. Kota mulai digantikan oleh kerlip cahaya lampu. Mentari telah bersiap. Tinggal melangkahkan kakinya saja keluar, tak perlu dandan sana-sini pun ia telah cantik. Ia tidak jadi membawa buah-buahan. Ibunya melarang. Padahal ia ingin sekali membawa buah tangan.

Dini pun telah bersiap, tapi ia tidak sebahagia anaknya. Hal ini merupakan hal yang berat baginya.

"Berangkat sekarang, Ma?" tanya Mentari dengan binar harap.

Dini mengendikan bahunya. Terpaksa. Ia telah berjanji dan memang seharusnya ia tepati.

Berangkatlah mereka, menuju suatu tempat dimana akan terbayarnya hutang Dini terhadap anaknya.

"Ma, Papa namanya siapa?"

"Nanti aja kita kenalannya," jawab Dini dingin.

Mendengar ibunya menjawab tanpa semangat sedikitpun, membuatnya tidak bersemangat juga untuk bertanya lebih banyak lagi. "Baiklah," ujarnya lesu.

Selama perjalanan tidak ada lagi percakapan antara ibu dan anak itu. Mereka saling bungkam dengan perhatian penuh pada jendela taksi yang sedang melaju. Seperti tidak ada kehidupan di sana. Hening dan sepi.

Tak berapa lama waktu berlalu, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah diskotik yang luarnya tampak lengang, namun dilihat dari parkirannya penuh dengan kendaraan roda dua dan empat yang berkesan mewah.

Dini menarik tangan anaknya masuk ke dalam, sedangkan Mentari termangu. 'Kenapa ke sini?' tanyanya dalam hati.

"Ayo, kita sapa papamu."

Mereka masuk dan langsung menuju sofabed yang tertata rapi di sudut ruangan. Di sana duduk berpasang-pasang manusia yang tidak punya malu. Mentari merasa jijik melihatnya, sedangkan Dini tetap pada langkahnya tidak merasa terusik sedikitpun.

"Berhenti, Ma."

Mentari menahan langkah ibunya untuk semakin masuk ke ruangan itu. Ia tidak sanggup lagi, sedari masuk tadi ia merasakan pusing akibat bau-bauan yang tidak mengenakan dan bising yang memekakkan telinganya.

"Tunjukkan saja orangnya," bisiknya pada telinga sang ibu. Mereka tidak perlu mendekat, segini saja rasanya ia sudah muak.

"Baju coklat dengan perempuan berbaju merah darah." Maafkan mama, Sayang.

Deg.

Hati Mentari berdesir. Ia merasakan nyeri yang hebat di dadanya. Tidak ada ucapan apa kabar dan pelukan dari sang ayah padanya. Seperti apa yang ia harapkan. Impiannya hanyalah omong kosong belaka, tidak akan pernah terwujud.

Tidak ada lagi binar bahagia di matanya. Mentari lagi-lagi redup, namun kali ini sangat redup.

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang