Mentari melangkah sambil menunduk di koridor yang mulai ramai. Ia memegangi tali tasnya dengan erat, seperti takut kehilangan. Sedangkan Fajar masih memakirkan motornya. Mentari memang menghindari untuk bersama masuk dengannya.
"Wah, ada yang sok alim sekarang nih. Gaes, liat deh siapa."
Suara nyaring itu membuat Mentari mendongak. Ia tidak menyangka akan bertemu perempuan menyebalkan itu di pagi ini. Apalagi sedang bersama Fajar. Merusak mood saja.
"What? Si sok hebat ya? Nggak nyangka gue." Lina menimpali. Pagi-pagi mereka sudah berkumpul saja. Membuat gaduh koridor yang tadinya tenang.
Sedangkan Salma, perempuan itu sedang mencolek-colek ujung kain yang melingkupi kepala Mentari. Ya, Mentari berhijab. Ia sudah menekadkan ini sejak masih di pemakaman kemarin.
"Mau apa lo?" geram Mentari, berusaha untuk tidak berpancing emosi. Ia tidak boleh gampang marah. Itu hanya akan menambah dosanya. Kalau ia banyak dosa, nanti nggak ketemu Lala di surga, gimana? Bukankah ia sudah berjanji?
"Awh, dia marah gaes. Takut nggak yaa?" Salma mulai mengolok lagi. Bergidik seolah hal barusan adalah suatu yang menakutkan.
"Atuut."
Tawa ketiga perempuan itu mendominasi lorong. Terdengar jelas bahwa itu adalah sebuah tawa mengejek.
Mentari berusaha untuk mengatur irama napasnya yang mulai tidak teratur. Ia sudah hendak pergi dari tadi, namun ketiga perempuan itu terus saja mencegatnya.
Fajar datang, langsung saja merangkul bahu Mentari yang berdiri kaku di tempatnya. Memaksa untuk berjalan meninggalkan koridor itu. Ia tidak peduli pada tiga perempuan yang memandang horor pada apa yang ia lakukan ini.
"Fajar! Jadi ini alasan lo putus sama gue? Iya?!" Suara teriakkan Salma di belakang terdengar memekakan. Tapi, melangkah terus saja mereka lakukan.
"Pakaiannya aja yang sok alim, ternyata cuma buat ngincer orang aja ternyata. Murahan, sumpah."
Gerutuan yang sengaja dikeraskan itu membuat langkah Mentari dan Fajar terhenti serentak. Keduanya tentu ingin meluapkan amarah sekarang. Fajar berbalik, melangkah mendekati Salma yang sedang tersenyum meremehkan.
"Kita itu putus udah lama, ya. Lo nggak usah ngait-ngaitin segala hal ke Mentari!" Dingin dan menusuk. Fajar memberikan tudingannya pada Salma yang matanya langsung membola. Terkejut karena mendapati Fajar membentak padanya.
"Jadi gini ya selera lo sekarang? Sok alim?—Fajar, gue kurang apa dari dia? Sampe lo gini ke gue?" Mata Salma mulai berkaca. Ia memang orang yang paling tidak setuju dengan putus hubungan bersama Fajar. Terlampau mencintai, mungkin. Setelah setahun pacaran, mereka putus hanya karena Fajar bosan. Alasan apaan itu?
"Apaan sih. Udah putus lama juga, masih aja ngebet." Mentari memutar mata malas di tempatnya. Merasa bosan untuk menonton drama picisan begini. Ia memang belum bisa menjaga emosinya. Mungkin lain kali akan berhasil.
"Eh, lo! Lo nggak habis-habis ya cari masalah sama gue? Mau lo apa sih?"
Hampir saja tangan Salma berhasil mendorong bahu Mentari. Namun, kegiatan itu keburu dicegah oleh Fajar.
"Dia adek gue. Lo yang maunya apa?" Sarkastis. Laki-laki itu mulai memerah menahan amarah.
"Adek? Sejak kapan lo punya adek, hah?"
"Lo nggak sepenting itu untuk tau.—Oya, nggak usah lo ganggu-ganggu adek gue lagi. Paham?!" Berbalik. Fajar meraih lengan Mentari lantas mereka pergi tanpa perlu menunggu tanggapan Salma atas ucapannya barusan.
"Lo nggak pa-pa Sal?" Jeny tergesa memastikan keadaan Salma ketika mendapati sahabatnya itu mengerjapkan mata beberapa kali. Sedari tadi Lina dan Jeny diam, mereka memang tidak pernah punya nyali untuk menginterupsi ucapan Fajar. Bahkan sekedar untuk membela Salma, mereka tidak bisa, atau mungkin takut.
«●»
Mentari duduk di kursinya dengan gelisah. Setiap saat matanya berpaling ke samping. Tempat dimana biasanya Lala duduk dan merundungnya dengan berbagai pertanyaan. Ah, ia rindu masa-masa itu. Sekarang tidak ada harapan untuk mengulangnya lagi. Seginikah berartinya Lala baginya? Harusnya ia sadar dari dulu. Terlambat sudah.
"Tari." Panggilan seseorang membuat pandangan Mentari beralih. Ia memandang heran. Tumben ada yang menyapanya. Ada apa dengan hari ini? Tadi pagi, disapa Salma and the geng, dan sekarang Luna? Perempuan yang biasanya duduk di bangku belakangnya.
"Hm?"
"Jangan melamun gitu. Nggak baik—Oiya, gue bolehkan duduk di sini?" Perempuan itu bertanya ketika ia sudah menduduki bangku yang dimaksud. Ingin rasanya Mentari nyolot, 'udah duduk kok baru nanya!'
"Silahkan." Mentari sedang belajar baik sekarang, jadi ia mencoba untuk mengontrol emosinya.
"Jangan berlarut-larut Tar. Nanti Lala bersedih lihat lo kek gini," ujar Luna dengan memusatkan perhatian pada Mentari yang sedang menulis di bukunya. Entah menulis apa. Sepertinya hanya untuk agar ia tidak terlalu canggung.
"Nanti lo mau ke kantin? Bareng kita aja. Sebenarnya, kita udah lama pengen ngajak lo, tapi lo itu terlampau tertutup, dan suka marah-marah gitu. Kita jadi sungkan. Sekarang lo udah berhijab, jadi kami pikir lo nggak bakal suka marah-marah lagi."
Kita yang dimaksud Luna adalah dirinya dan Cici yang duduk tepat di belakang bangku Lala. Perempuan itu juga memandang Mentari yang masih tidak bergeming, ia memang sedikit pendiam.
"O-iyaa, gue lupa kalau kemarin waktu lo libur ada yang nyariin. Kakak kelas sih kayaknya. Tapi gue lupa namanya."
"Alan, namanya." Cici menyahut.
"Iya, mungkin. Dia nitip surat! Kalau nggak salah gue yang nyimpan deh. Dimana ya." Luna mengacak-acak bukunya yang sedang terkembang di meja belakang Mentari. Mencari sesuatu.
"Nah, ini!" serunya ketika mendapatkan sebuah kertas biru terselip di antara kertas-kertas putih bukunya, lantas menyerahkan kertas itu pada Mentari yang telah memalingkan wajah padanya sejak kata 'nyariin' terdengar.
"Makasih."
Tergesa, Mentari mengembangkan kertas biru itu.
————~※~————
Mereka menjawab, Kami mendapat nasib yang malang disebabkan oleh kamu dan orang-orang yang bersamamu. Dia (Salih) berkata, Nasibmu ada pada Allah (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu adalah kaum yang sedang diuji.
(QS. An-Naml 27: Ayat 47)Kamu sedang diuji dan saya tau, kamu pasti bisa melewatinya.
Semangat:)
————~※~————Sudut bibir Mentari berkedut. Ia menahan senyum. Ada apa dengannya?
«●»
Pesan dan kesan, please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
SpiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...