5. Hukuman

62 7 0
                                    

Bel berdering, tepat ketika langkah pertama Mentari menapaki halaman sekolah. Ia lantas berlari menuju lapangan sekolah yang tidak seberapa jauh lagi. Tapi, jika jalannya santai bisa jadi ia akan terlambat sampai sana. Rasanya tidak etis jika kesan pertama adalah terlambat. Huh, bukan Mentari, banget.

Bruk.

Akibat terlalu cepat berlari, Mentari tanpa sadar menginjak tali sepatunya sendiri. Mendadak wajahnya memerah karena tiba-tiba terdengar tawa keras di sekelilingnya. Mentari mengutuk dalam hati, ia merasa sangat malu sekarang. Tidak tahu mau diletakkan dimana wajahnya ini.

"Kalian ini, bukannya membantu malah menertawakan." Suara bass dari arah dalam menginterupsi kadar malu Mentari yang diambang masalah.

"Alan-Alan. Anggap aja hiburan pagi, napa? Kayak sarapan, gitu?" kekehan suara perempuan di ujung kalimat itu membuat Mentari mendongak, tak lagi menunduk menahan malu. Sedikit sakit hati. Ia memandang perempuan di samping laki laki jangkung-yang tadi berbicara- dengan tajam. Bak predator bertemu mangsanya. Entah kemana rasa malunya sebentar tadi.

"Sarapan? Oh, jadi begini, ya, yang namanya senior? Kayak sampah!" ujar Mentari setelah ia berdiri dengan tegap. Ia menekankan setiap katanya sambil menatap tajam kakak kelasnya ini. Ia dapat menerka kakak kelas karena dapat dilihat dari jas almamater yang mereka pakai.

Perempuan itu entah dapat keberanian darimana hingga bisa mengungkapkan kata-kata barusan. Dia memang tidak suka dijadikan lelucon, beginilah jadinya. Berontak.

Perempuan dengan rambut digerai sebahu itu membulatkan matanya. Tidak menyangka akan ada adik kelas yang minta dihajar. Untung ia perempuan, kalau tidak mungkin sudah ia tendang.

"Maksud lo apa, hah?" Geram, perempuan itu menjangkau rambut Mentari yang di kuncir 15, ingin sekali dirinya mencabut setiap kunciran itu satu persatu dari kepala Mentari.

"Au ...." Mentari meringis. Balas menarik rambut lawan nya, tidak mau kalah. Mentari mengumpat dibalas pula oleh perempuan senior itu umpatan pula. Begitu seterusnya.

Terdengar sorak-sorai di sekeliling mereka. Rupanya ada penonton tak dibayar di tepi panggung, menyemangati jagoannya. Tidak ada yang berniat untuk melerai acara tarik-tarikan rambut kedua jagoan kecuali laki-laki pecinta damai diantara pertengkaran itu. Alan.

"Eh. Apa-apaan kalian ini?" lerai Alan tanpa menyentuh sedikit pun, bahkan kedua tangannya masih berada disisi kiri kanannya. Ia masih ingat batasan.

Tidak ada tanda-tanda perkelahian akan dihentikan, Alan mendadak frustasi. Ia berteriak memanggil siapa pun untuk melerai pertengkaran antara perempuan ini. Namun, tak ada yang berani. Seluruhnya hanyalah anak baru, yang tidak mau dapat masalah.

Alan mendesah, lagi-lagi frustasi menghingapinya. Hari pertama menjadi panitia dalam kegiatan MOS malah membawa petaka baginya. Bagaimana mungkin ia membiarkan pertengkaran terjadi di depan matanya sendiri? Tapi, tidak ada cara lain untuk melerai mereka dengan tangan. Tapi, kan ... bukan mahram.

"Berhenti! Ngapain kalian di sini? Bukannya berbaris di lapangan malah buat perkumpulan di sini. Minta dihukum, hah?!" Suara lengking yang memusingkan kepala itu membuat situasi menegang. Kedua petarung langsung disandera, dibawa pergi entah kemana.

Para penonton modal gratisan itu pun berlalu dengan tergesa-gesa menuju lapangan sekolah. Samar-samar terdengar nada-nada kecewa dari meraka. Mungkin mereka kecewa karena pertarungan belum selesai malah dihentikan. Kan payah, namanya.

Mentari dan beberapa orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dibawa ke suatu tempat yang di setiap sudutnya dipenuhi oleh lemari berisi buku. Ada sebuah papan nama di atas meja bertuliskan Ani Rinjani, guru BK. Tamatlah riwayatnya sebagai anak baru.

"Apa yang terjadi? Men-ta-ri Sen-ja. Nama yang unik." Ibu Ani mengeja nama Mentari yang tertulis di sebuah kertas yang tergantung di dadanya. Mentari masih menunduk, takut-takut ia menegakkan kepala.

"Dia duluan, Bu," jawab Mentari cepat. Takut didului oleh perempuan yang duduk di sampingnya.

"Eh. Gini-gini gue kakak kelas lo, ya!" bantah perempuan yang belum diketahui namanya ini terhadap pemanggilan Mentari padanya. Ia yang biasanya dihormati, sekarang harga dirinya diinjak-injak oleh adik kelas dengan tidak tahu malunya.

"Kakak kelas begini, tidak pantas saya hormati!" Mentari memandang rendah lawan bicaranya. Memang ia tidak sudi memanggil perempuan itu dengan sebutan kakak. Tidak cocok.

Kembali terjadi cekcok, perang mulut antara dua perempuan yang sama-sama keras kepala. Tarik-tarikan rambut, pelintiran-pelintiran tangan. Pokoknya perempuan bangetlah.

"Hentikan! Kalian ini membuat saya pusing saja. Sekarang diam. Biar Alan yang bicara. Ngomong, Lan. Siapa yang salah?" Teriakan Bu Ani memotong pertengkaran dua siswinya yang langsung mengambil posisi seperti siswa paling sopan. Melipat tangan di atas meja dan melihat lurus ke depan. Takut kena cincang oleh kemarahan Bu Ani.

"Saya, Bu," jawab Alan sembari menunduk. Ia sedari tadi berdiri di sisi kiri meja, sedangkan dua perempuan yang tadinya membawa Mentari dan perempuan senior itu berdiri di sisi kanan meja, menjadi pengamat.

"Kamu? Kamu diperebutkan mereka?"

"Bukan-bukan." Alan menyahuti cepat. Takut salah paham. Bukan begitu maksudnya padahal.

"Lalu?"

Mengalirlah cerita dari pertama bertemu hingga sampai ke sekarang di ruang BK dari bibir Alan. Ia memang tidak berbakat bohong, lagi pula apa yang perlu ditutup tutupi? Ia tidak akan membela siapa pun. Sedangkan yang lainnya diam, tidak ada yang mau menyela.

"Maksud saya, saya bersalah itu karena tidak bisa melerai mereka, Bu."

Bu Ani menghela napas lega. 'Ternyata begitu toh ceritanya,' batinnya sambil memikirkan apa sanksi yang cocok ia berikan kepada dua peserta didiknya ini. Tak perlu waktu lama, sebuah ide cemerlang-menurutnya- mendatangi kepalanya yang telah ditumbuhi oleh satu-dua uban. "Kalian akan Ibu hukum!"

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang