15. Singgah

44 5 1
                                    

Luka yang tadinya ia kira akan sembuh, malah digores lagi dan kali ini semakin dalam. Membuat perih terus-menerus, menyiksanya.

Harusnya ia tidak mengambil tindakan ini. Ia memang tidak pandai dalam mengambil pelajaran. Harus berapa kali ia kecewa, hendaknya? Sehingga bisa belajar untuk tidak mengambil tindakan bodoh lagi.

Dengan langkah yang dipaksa, terseret seret. Gadis itu melangkah tidak tahu arah. Dimana ada jalan, disitu ia berjalan, biarlah tersesat asalkan perih di dadanya hilang. Ia pikir dengan tampilan yang berbeda laki-laki itu akan sesuai dengan impiannya, ternyata sama saja atau mungkin lebih buruk? Bisa jadi.

Berjalan di trotoar jalanan--hanya berisi beberapa pejalan kaki-- membuat ia menjadi tontonan, penyebabnya hanya karena air yang terus mengalir dari matanya serta suara sesenggukannya yang terdengar memilukan. Hanya itu, tapi cukup membuatnya diperhatikan walau akhirnya tidak dipedulikan.

Di belakangnya, hanya berjarak beberapa meter saja seseorang mengejar. Memanggil namanya, namun tidak gadis itu hiraukan.

Laki laki itu langsung mendekap sang adik. Memberikan perlindungan. Memberitahu bahwa masih ada dirinya di sini. Mentari yang tahu didekap sang Kakak mencoba untuk melepaskan. Sekuat tenaga masih dengan air mata yang beruraian.

"Lepasin gue. Lo denger, 'kan? Dia bilang apa? Gue itu bukan anaknya, jadi lo juga bukan kakak gue. Jauh-jauh dari gue!" rintihnya, melepaskan kaitan-kaitan tangan laki-laki itu dari tubuhnya yang semakin erat.

"Nggak."

"PERGI, gue bilang!" Mentari mendorong kuat Fajar, membuat laki-laki itu terduduk di trotoar. Ia meringis, merasakan sedikit perih pada tulangnya. Mereka sekarang jadi tontonan oleh para pejalan kaki maupun pengendara yang berlalu lalang di jalanan.

Setelahnya Mentari berlari, sekuat tenaga membawa tubuhnya sejauh mungkin. Dan menghilang di tikungan sebelum sempat Fajar mengejar.

Ia berlari tak tentu arah, sampai berhenti di sebuah keramaian. Taman. Wajahnya telah basah, entah oleh keringat atau air mata. Ia dudukan dirinya pada sebuah bangku panjang. Memandang keramaian sekitar dengan nanar.

'Tuhan nggak adil'. Kalimat itu terus ia ulang dalam otaknya, berseliweran membuatnya buta akan nikmat yang ia dapatkan selama ini. Benci, hanya itu.

Di keramaian itu berpasang-pasang mata memandangnya ingin tahu. 'Kenapa menangis? Ada apa? Putus dengan pacarkah?' Begitulah pikiran mereka jika diteliti satu-satu, tapi hanya sebatas itu, tidak berniat untuk bertanya langsung dan mencari tahu.

Menteri tidak peduli, seberapapun banyaknya orang melihatnya menangis. Ia tetap tidak peduli. Memangnya mereka siapa, ia tidak kenal. Biarlah jadi bahan pembicaraan mereka sesama teman atau pasangan, yang penting tidak menganggu dirinya. Itu sudah cukup.

«●»

Senja terbit, warna jingga memenuhi langit. Sesaat, Mentari mulai sadar. Ia tidak tahu ini dimana, terlalu lama ia termenung, menagisi nasibnya yang menyedihkan. Lalu bagaimana ia bisa pulang, sedangkan hari telah hampir malam.

Air matanya telah mengering, bahkan jejaknya pun sudah tidak ada lagi hanya saja bekas di hatinya masih ada. Mungkin tidak akan pernah hilang walau ditelan waktu dan zaman. Sebab telah terluka terlalu dalam.

Teringat tasnya yang berisi uang serta ponsel tertinggal di rumah Fajar. Lantas bagaimana ia bisa pulang sekarang? Menelpon ibunya, tidak mungkin. Sebab ia tidak pernah berniat untuk menghafal nomor ponsel siapapun selama ini, termasuk nomornya sendiri. 'Tidak penting,' demikian alibinya. Tapi, sekarang ia menyesal. Sesal yang tidak berguna tentunya.

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang