21. Hidayah

25 5 0
                                    

"Tari, ada yang manggil!" Atih berteriak di samping kusen pintu, ia menoleh ke belakang untuk melakukannya.

Mentari-yang selalu sibuk dengan pekerjaannya- mengangkat pandangan, dilihatnya Atih telah kembali membelakangi, berbincang, entah dengan siapa.

Menggeser bangkunya menjauh dari meja, Mentari berdiri lantas menghampiri pintu. Kelas di jam istrahat kedua ini sangat sepi, hanya ada dua orang di kursi paling belakang kelas dan Atih di pintu berceloteh riang dengan temannya.

"Mana, Tih?" tanya Mentari ketika tidak menemukan orang lain selain Atih-bersama temannya di depan pintu. Kepalanya melongok ke kanan dan kiri untuk memastikan memang tidak ada orang lain lagi.

"Udah pergi, katanya ke musala dan lu di minta ke sana juga," jawab Atih tanpa menatap Mentari di sampingnya. Ia masih mencoba berbicara dengan teman di depannya di sela percakapan dengan Mentari.

"Siapa, sih? Aneh, banget." Gumaman itu berasal dari mulut Mentari, pelan, tapi masih dapat didengar oleh Atih.

"Mana gue tahu, lo susul sana."

"Ogah, gue nggak kenal siapa," balas Mentari sambil berbalik, berniat kembali ke bangkunya.

"Ya udah, serah lu aja. O iya, sampai mana tadi kita?" Itu ucapan terakhir yang dapat didengar oleh Mentari, ia sudah cukup jauh dari keberadaan Atih. Kembali duduk manis di bangkunya lagi.

Kelas sepi, benar-benar tidak ada orang lain lagi selain Mentari sendiri di sini. Atih telah pergi dengan temannya, sedangkan dua orang tadi juga sudah melangkah keluar.

'Ngapain, sih, mereka pergi semua? Gue kan jadi takut di sini sendiri. Apa gue susul aja orang itu, ya? Penasaran juga siapa. Tapi-'

Mentari menutup bukunya, ia menghela napas keras. Berusaha untuk tidak bergidik di sini, ketika tidak ada seorang pun menemani.

'Baiklah Mentari, ini tidak semengerikan yang lo pikirkan,' batinnya menguatkan diri sendiri. Berjalan pelan, lalu makin cepat ketika hampir mendekati pintu.

Huh!

Mentari berlarian meninggalkan kelas itu menuju musala yang tampak ramai dari kejauhan. Orang-orang melihatnya terheran-heran, 'kenapa lari-lari seperti dikejar setan begitu?' Begitulah batin mereka kira-kira-atau mungkin obrolan mereka dengan temannya.

Langkah Mentari terhenti tak jauh dari musala. Napasnya tersendat-sendat, dadanya pun terasa berdentum-dentum. Lelah. Ia mencoba untuk menenangkan diri dengan menarik napas dan menghembuskannya pelan.

Baiklah, sekarang ia bingung. Apa yang mesti ia lakukan? Masuk? Menunggu? Tapi, kalau menunggu, menunggu apa? Atau kembali saja ke kelas? Mungkin di kelasnya sekarang sudah ada orang yang datang. Oke, itu ide bagus.

"Hey, mau kemana?"

Baru mencoba untuk memutar arah, sebuah suara membuatnya berpikir. 'Itu manggil gue?' Karena merasa tidak punya teman yang suka shalat kecuali Lala ia mengacuhkan saja panggilan itu-lagipula sejak kapan ia punya teman?

Kakinya mulai melangkah lagi.

"Mentari!"

Langkahnya terhenti lantas dengan cepat ia berbalik, memandangi si Pemanggil yang berdiri tak jauh darinya.

Keningnya mengerut.

"Lo manggil gue?" tanya Mentari bingung, merasa tidak pernah kenal dengan perempuan yang memanggilnya ini.

'Mungkin dia bukan manggil gue.' Mentari mencoba untuk berpikir lain.

"Iya, kamu. Mentari, kan?" Perempuan itu berjalan mendekat. Jilbab lebarnya yang melebihi siku-tampak seperti mukena-melambai-lambai.

"Iya. Lo nggak salah orang, kan?"

"Nggak, ayo sini."

"Jadi, lo yang nyuruh gue ke sini?"

"Nggak."

"Terus, ngapain manggil gue? Perasaan kita nggak pernah kenal sebelumnya. Lo tau nama gue dari siapa?" tanya Mentari dengan bertubi untuk menuntaskan rasa penasarannya.

"Nanti, ya, ceritanya. Kita ambil wudhu dulu, terus shalat."

"Tapi-."

"Udah mau azan, yuk."

Ia memaksa dengan menarik Mentari masuk ke area musala, ia bahkan menunggui Mentari melepaskan sepatu sambil mengumbar senyum lebarnya.

Sebenarnya Mentari ingin sekali berontak, melawan, tapi ia masih ingat adab di sini. Tidak baik bertengkar di tempat ibadah, apalagi sekarang sudah masuk waktu shalat zuhur. Dan ia memilih mengalah.

«●»

Derap langkah kaki Mentari terdengar samar di antara langkah kaki yang lainnya.

Pikiran Mentari berkelana. Entah kenapa, otaknya tiba-tiba memutar memori beberapa menit yang lalu. Bukan sesuatu yang penting sebenarnya, tapi otaknya memproses kejadian itu.

"Rasulullah saw. bersabda:
Cobaan akan selalu menimpa mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya sampai ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun. Hadis riwayat Ahmad." Itu adalah hadist yang di bacakan seseorang tadi, entahlah siapa namanya. Tapi, yang penting adalah isinya.

Katanya cobaan akan selalu menimpa mukmin dan mukminah sampai ia bertemu Allah tanpa dosa sedikitpun. Akan selalu. Se-la-lu! Itu poinnya. Ia kepikiran tentang satu kata itu.

Selama ini, ia pikir Tuhan itu tidak adil, Allah itu tidak adil. Padahal, seharusnya ia bisa menelaah semua kejadian ini. Bukankah Allah itu akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang diinginkan? Lalu, kemana saja imannya selama ini? Benci tidak jelas pada Pencipta sendiri.

Harusnya juga ia bersyukur diberikan cobaan begitu sebab itu tandanya Allah sayang pada dirinya, si Bodoh ini. Tapi, ia keburu berburuk sangka.

Kalau dibandingkan, apalah ia, ia hanya seorang manusia yang tidak punya apa-apa, sedikitpun nihil.

Dosanya yang semestinya berkurang, malah bertambah banyak sebab melawan ketetapan. Mungkin saja dosanya sudah menggunung sekarang, tidak terhitung jumlahnya meninggalkan jumlah pahalanya.

Huft.

Mentari melepas napas pelan, bebannya terasa memberat.

'Kenapa baru kepikiran sekarang?'

Sambil terus berpikir, ia berjalan menuju kelas. Pandangannya kosong. Bagai orang kehilangan cahaya dalam hidupnya, tapi sebenarnya ia sedang menerima cahaya itu sendiri. Hidayah sedang menuju padanya.

"Aw!"

Mentari sedikit terdorong ke belakang sebab ditabrak dari depan. Lamunannya buyar seketika.

"Lo, kalau jalan pake mata!"

Ia kenal siapa yang berteriak itu. Dengan mengangkat alis dan melengos ia berlalu, memilih tidak acuh pada perempuan itu.

"Eh, mau kemana, lo?!"

Tak peduli, Mentari terus berjalan membuat Salma di belakangnya benar-benar geram.

«●»

Pesan dan kesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang