6. Buku

50 7 0
                                    

Hari kedua MOS membuat semangat hidup Mentari luntur seketika. Bagaimana, tidak? Kejadian kemarin cukup membuatnya kapok. Jadi bahan tontonan, dihukum. Apakah masih ada tempat untuknya menampakan wajah sekarang? Mungkin tidak, kecuali punya modal nekat.

Mentari merapalkan berbagai macam doa. Berharap tidak ada yang mengenali wajahnya apalagi sampai mengosipinya. Dengan terus mempercepat langkah ia memperhatikan betul langkahnya, takut kejadian naas kemarin terulang kembali. Jangan sampai.

"Itu cewek kemarin, yang berani lawan senior. Punya nyali berapa dia, sampai bisa menunjukkan wajah lagi di sini. Kalau gue, pasti udah libur sekarang. Izin." Sayup terdengar celotehan anak baru di belakang Mentari. Mentari hanya berlagak masa bodo, seolah tidak ada manusia yang berbicara.

"Gue malah salut sama dia, berani lawan senior." Sebuah suara menimpali, sayup tapi masih bisa masuk indera pendengaran Mentari yang makin memperlebar langkah.

"Salut-salut. Nggak salah lo? Harusnya lo itu kasihan sama dia. Secara gitu loh, dia ngelawan senior. Lo tau kan konsekuensi nya?"

Tak ada jawaban. Mentari tak dapat lagi mendengarnya, ia telah terlalu jauh untuk bisa menguping lagi.

Memasuki kelas yang kemarin telah ia tempati, hari ini kelas itu nampak bersih. Sebuah bangku pojok kanan menjadi tujuan akhir langkah lebar Mentari, bangkunya kemarin.

Mendadak kelas yang bersih tadi menjelma sebagai kelas kotor nan bau. Mentari mengumpat. Diantara banyaknya meja yang tersusun di kelas ini, hanya mejanya sendiri yang banyak sampah dan penuh debu. Secarik kertas buku di himpit batu menyita perhatian Mentari.

'Lo kemarin pesan sampah, 'kan?' Bunyi yang tertulis di kertas itu. Tak butuh waktu lama, Mentari dapat menebak siapa yang melakukannya. Dengan geram ia melempar sembarang arah tasnya, lantas berlarian mengambil sapu di sudut ruangan sebelum bel untuk berbaris dibunyikan.

Teet-teet.

Bunyi bel yang menusuk telinga itu membuat Mentari mengayunkan tangan lebih cepat. Berangsur-angsur penghuni kelas mulai berkurang meninggalkan Mentari yang kepayahan. Tidak ada yang berniat membantunya. 'Oh, bagus,' puji Mentari dengan bergumam untuk teman barunya itu.

Dengan napas ngos-ngosan Mentari akhirnya dapat mensejajari diri dengan teman sekelasnya yang tidak begitu ia hapal nama mereka secara keseluruhan. Bagaimana bisa hapal, jika mereka tidak mau berteman dengannya? Sungguh mengenaskan. Mungkin mereka tidak mau berteman dengan orang yang bermasalah, ya? Takut kecipratan sialnya.

Sedikit pidato dari seorang guru -yang ngakunya pembina OSIS- mengawali acara MOS pagi ini. Lalu diambil alih oleh ketua OSIS yang di belakangnya berdiri para anggota OSIS. Diantara banyaknya anggota OSIS yang berdiri di depan hanya satu yang membuat darah Mentari mendidih. Wajahnya sampai memerah menahan amarah, tak sabar ingin membalaskan dendam kesumatnya.

Hanya sedikit pengumuman yang diberikan oleh ketua OSIS yang dapat Mentari tangkap, yaitu: 'untuk lebih lengkapnya akan dijelaskan nanti di kelas,' dan 'silahkan bubar.'

Sesuai perintah yang dikeluarkan sang ketua OSIS, para siswa langsung memecah menjauh menuju kelas. Beberapa ada yang menggerutu tentang teriknya matahari pagi ini, sehingga menyebabkan kulit mereka terasa gosong. Ada pula yang berkipas-kipas ria dengan tangan, seolah di tangan itu ada lubang AC-nya. Mentari tak peduli itu semua, ia hanya ingin cepat cepat pergi dari sini. Ingin segera duduk tenang di bangku, menghilangkan lelah yang mendera sedari tadi.

Tak berapa lama datang para siswa beralmamater. Dua pasang, laki laki dan perempuan. Masing-masingnya membawa sebuah kota berukuran menengah, entah apa isinya.

Dari keempat itu yang masuk hanya satu yang tersenyum lebar. Laki laki berambut cepak. Ia-tersenyum seperti iklan pasta gigi yang sayangnya giginya tidak seputih yang di iklan- melihat genit kearah siswi baru, kelihatan sekali sedang mencari mangsa. Tipe-tipe playboy, suka tebar pesona.

"Baik semua, mohon perhatiannya sebentar."

***

"Gaes! Tau nggak sih, kalau ono si junior tak tau diri siapa?"

Suara yang cukup familiar di telinga Mentari kembali menyapanya saat sedang berada di kantin yang ramai. Bukan sapaan hangat, jangan harap itu akan terjadi karena bagaimana pun mereka bermusuhan sejak pertemuan pertama kemarin.

"Emangnya siapa?" Sahutan ditekankan dengan suara yang begitu keras-hingga banyak yang memperhatikan pengobrol itu- tampak sekali disengaja. Memancing-mancing kemarahan Mentari, sepertinya.

"Asal lo semua tau, ya. Dia itu anaknya koruptor! Nyokap pula. Kalau gue, pasti udah lari ke ujung dunia." Lagi, suara perempuan nan familiar itu membalas. Volumenya sama, keras dan sedikit ditekan.

"Ngapain?"

"Nangis!"

Gelak tawa memenuhi meja mereka. Begitu pula penontonnya, sedangkan Mentari hanya diam membisu, ia tau siapa yang diceritakan. Sedikit saja ia membalas, maka hancur kantin ini oleh pertengkaran mereka. Jadi, lebih baik ia: diam, sabar dan mempercepat makan.

"Dia diam aja, Sal."

"Tuli, kali!"

Brak!

Mentari beranjak dari tempat duduk dengan sedikit hentakan. Pengunjung kantin banyak memperhatikan keanehannya. Tanpa memikirkan pandangan itu, Mentari berlalu pergi meninggalkan kantin yang makin berisik.

Sampai di luar, ia lantas mempercepat langkahnya hingga berlari tak tentu arah. Ia berhenti ketika tak tahu lagi mau kemana, jalan buntu. Ia luruh ke lantai. Menangis sesenggukan dengan bertekuk lutut, ia menyimpan wajahnya pada lutut. Cukup lama, hingga rasanya Mentari mengantuk.

Mentari mengangkat wajahnya, namun sebuah buku dan catatan kecil langsung menyambut. Membuatnya mengernyit heran.

'Jangan menangis di sini, lebih baik dihadapan Tuhanmu.'
To: Mentari

Buku itu ditujukan untuknya. Tanpa menunggu waktu lama, perempuan itu langsung mengedarkan pandangan mengelilingi tempat ia duduk sekarang. Sepi. Hanya ada seorang laki-laki-dengan pakaian berantakan tanpa almamater sedang berjalan menjauh. Walaupun begitu, Mentari dapat menerka kakak kelasnya karena laki-laki itu tidak memakai persyaratan MOS hari ini. Seperti, nama yang ditulis di kertas karton dan dijadikan kalung.

Mendadak ada sesuatu yang berdesir dalam diri Mentari.

"Makasih," ujarnya pelan lantas mengusap kasar air mata yang kembali menemaninya setelah beberapa hari tidak muncul. Kenapa ia lemah kembali? Bukankah ia telah berjanji tidak akan menangis lagi? Apalagi dengan alasan yang tidak jelas begini.

"Oi! Fajar!" Sayup terdengar sebuah suara menyebutkan nama. Laki-laki yang tadi masuk dalam pandangan Mentari melambaikan tangan. Lalu, hilang ditelan tikungan.

«●»

Pesan dan kesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang