12. Saudara

46 6 3
                                    

Semilir angin begitu menyenangkan jika engkau rasakan ketika sedang panas-panasnya matahari, akan terasa seperti angin surga. Sangatlah rugi dirimu jika membiarkannya berlalu begitu saja. Tidak menikmatinya, dan paling utama tidak mensyukurinya. Huh, sayang sekali kalau begitu.

Walau begitu, semilir di pagi hari tetap yang terbaik, karena tanpa polusi. Kau tahu, kota besar merupakan tempat polusi di siang hari atau pun sore hari. Namun, tidak dengan ketika pagi hari. Polusi itu seakan sirna, sangat sejuk untuk dinikmati.

Semilir tanpa polusi itu nampaknya tidak dimanfaatkan oleh gadis dengan rambut diikat ekor kuda yang sedang berdiri di roftop. Ia hanya bengong, tidak tersenyum ataupun menghirup napas dalam. Rugi sekali dirinya.

Anak rambutnya yang tidak terikat melambai-lambai ditiup angin. Menutupi matanya, tak ia hiraukan. Sinar Matahari pagi menerpa wajahnya pun tak ia acuhkan. Burung-burung berkicauan meninggalkan sarangnya, tetapi gadis itu tetap bertahan dengan tatapan kosongnya yang tak berkesudahan.

Mentari namanya. Cantik orangnya. Hanya saja, dirinya sedang bersedih jadi kecantikan yang ia miliki sedikit berkurang. Mendadak, pandangan kosongnya berganti. Ia melihat seseorang di ujung sana, tempat yang begitu familiar baginya. Gudang sekolah. Taman yang ia buat itu sedang disirami oleh seorang pelajar? Kenapa bukan tukang kebun sekolah. Padahal Mentari telah menerka begitu.

Dengan tergesa Mentari turun dari atap sekolah, berlarian menuju tangga. Tujuannya adalah gudang. Tempat itu harus secepatnya ia capai sebelum penyiram tanamannya itu pergi tanpa menunggunya tiba. Jangan sampai.

Pikiran kalut tentang kebohongan keluarganya lenyap seketika akibat rasa penasarannya dengan orang baik yang telah menyiram tanamannya. Benar-benar hilang. Hanya ada pikiran tentang, siapa gerangan orang itu?

Sekolah telah mulai berdatangan para pelajar. Hanya sedikit, mungkin mereka bagian dari yang rajin atau yang sedang tidur sambil sekolah. Beberapa kali Mentari menabrak bahu-bahu mereka hingga mendapatkan umpatan yang agak menganggu, ia tak peduli. Ia terus memacu langkah menuju tempat paling jauh itu berada. Gudang.

Namun, Mentari hanya bisa menarik napas kecewa sebab tak ia temukan siapa pun di sana.

"Sial!" umpatnya. Mengacak rambut sekilas lalu mendekati teras gudang. Duduk, kembali merenung.

Matahari makin meninggi, suasana mulai sedikit hangat. Sayup terdengar obrolan-obrolan tak jelas sekitar gudang. Dan, buk! Sesuatu yang sering Mentari dengar jika duduk di teras itu. Bunyi jatuh dari pagar sekolah yang telah dijalari tetumbuhan liar. Walaupun tahu begitu, Mentari tak mau pergi, ia merasa betah di sana. Tenang, itu yang ia butuhkan.

Langkah kaki menginjak dedaunan kering terdengar begitu renyah. Berirama dan begitu beraturan. Terdengar tenang, seperti tidak merasa khawatir sedikitpun. Memang sih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh yang tahu hanyalah Mentari yang sukanya masa bodo.

"Mentari! Di sini lo ternyata. Bagus deh. Jadi gue nggak perlu lagi nyari lo." Alex-si pemilik langkah, bersorak lantang tatkala melihat sesosok manusia duduk di teras gudang dengan raut kusut. Dirinya bela-belain datang cepat hanya karena soulmate-nya-Fajar- meminta. Ia katakan Mentari sedang ngambek dengannya dan harus ditemukan hidup-hidup.

Mentari dan Alex saling mengenal karena Fajar. Laki laki itu pernah mengajak Mentari ke warung di belakang sekolah yang biasanya diisi oleh anak anak tak taat aturan. Kegiatan yang banyak dilakukan mereka adalah merokok. Hingga Mentari dan Alex agak sedikit akrab.

"Apaan? Ganggu gue aja," balas Mentari ketus. Kegiatan absurd-nya terhenti akibat seruan manusia yang mendekat padanya itu. Ia membuang pandangan dan mengerucutkan bibir tak suka.

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang