Mentari telah siap. Hari ini ia akan menjenguk ibu Lala yang masih dirawat sebab luka bakar di tubuhnya itu. Dari kecelakaan itu memang hanya dia seorang yang selamat. Sopir serta Lala, tidak dapat bertahan. Mengingat Lala membuat Mentari ingin menangis lagi. Ah, ia terlalu cengeng sekarang.
Mentari menyusuri lorong rumah sakit yang dipenuhi oleh para suster yang berlalu lalang, di belakangnya Fajar mengikuti. Akhir-akhir ini laki-laki itu berjalan sedikit pelan, kadang bengong tak tentu juga. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Assalamualaikum, Tante." Mentari melangkah masuk setelah membuka pintu lebar. Di dalam sana, telah duduk seorang perempuan paruh baya yang sudah menemani sejak Sinta—ibu Lala— dirawat di sini. Ia adalah Miwa, adik ipar Sinta.
"Waalaikumussalam, Mentari," jawabnya setelah menengadah, memerhatikan siapa yang datang berkunjung. Mereka memang telah saling kenal sejak pemakaman itu.
Mentari menyodorkan bawaannya pada Miwa yang telah menutup alquran kecilnya. "Gimana keadaannya, Tan?"
Miwa meletakkan buah bawaan Mentari itu di nakas samping ranjang setelah mengucapkan terimakasih. "Nggak ada perkembangan. Sampai sekarang belum juga sadar. Tante takut bakal terjadi hal yang sama." Suara Miwa makin mengecil di ujung kalimat. Terdengar lirih.
"Jangan berpikir seperti itu Tan. Tari tahu kok ibunya Lala sekuat Lala juga. Beliau pasti sadar dan sembuh. Kita berdoa saja ya Tan," bujuk Mentari. Sejak memilih berhijrah, Mentari memang sudah bisa mengontrol emosinya, tak lagi bersedih berlebihan, berusaha untuk tegar, selalu berpikiran positif. Dan yang pasti, ia sudah mulai berbaikan dengan takdirnya sendiri.
"Kamu ngomong gini, Tante jadi ingat Lala. Dia itu rajiin, sayang keluargaa, nggak pernah ngeluuh. Hiks, Tante jadi cengeng kan. Huhuu." Miwa menangis. Bahkan, saking seringnya wanita itu bersedih, wajahnya menjadi pucat dan bawah matanya menghitam. Terlihat mengerikan.
"Udah, Tan." Mentari terus saja mengatakan, 'udah, udah', padahal dalam hatinya, ia ingin menangis dan bersedih juga. Namun, perempuan itu berusaha tegar. Tak penting baginya, ia menangis dalam hati atau menjerit sekalipun. Ia tidak akan menampakkannya di depan orang yang juga bersedih. Ia tidak mau menambah beban mereka.
"Allah sangat sayang sama Lala. Lihat, cobaannya begitu banyak. Tapi dia nggak pernah ngeluh. Sedari kecil udah nggak dapat kasih sayang. Orang tuanya sibuk bertengkar, hingga lupa punya anak yang butuh kasih sayang mereka." Miwa memulai kenangannya bersama dengan deraian air mata. Tanpa suara sesenggukan.
"Mereka bercerai, makin membuat Lala sengsara. Ibunya mesti pergi kerja ke Singapura, terus tinggal sama tante sejak umur dua tahun."
Mentari mendengarkan dengan seksama, ia tidak ingin memotong kilas balik itu. Ia biarkan saja, agar Miwa dapat tenang karena mengeluarkan isi kepalanya yang penuh.
"Tante ingat sekali waktu itu, saat itu lebaran. Banyak orang-orang jauh pulang kampung. Lala duduk aja di teras rumah sambil belajar membaca. Nunggu ibunya, yang biasanya pulang setiap lebaran. Namun, sampai malam menjelang dan esok datangpun, Sinta nggak pernah muncul lagi sampai dua bulan kemarin." Miwa menerawang kejadian yang ia ceritakan. Terbayang dengan jelas oleh benaknya, bagaimana muramnya wajah Lala kala itu. Tapi, dirinya waktu itu malah tidak mau mengerti. Sungguh, ia benci dirinya yang lalu. Sangat benci.
"Sinta datang lagi, setelah hampir sepuluh tahun nggak pulang-pulang. Tante marah, tentu saja. Sekarang, tante pengen marah sama diri tante sendiri ketika mengingat kata-kata apa yang tante keluarkan waktu itu. Hiks huhuu." Menangis lagi. Sebentar lagi air matanya bisa saja habis sebabnya.
"Kemana aja kamu? Bertahun-tahun nggak pulang. Kamu nggak tau kalau kakak kamu meninggal? Dan dia ninggalin kemenakannya sama saya. Siapa itu? Anak kamu! Nyusain aja. Hiks." Miwa mengulang kembali kata-katanya waktu itu. Sama persis, hanya saja kali ini lebih lirih tidak membentak-bentak seperti kala itu. Diakhirnya pun, ia menangis, lagi.
"Ya, tante dulu memang sejahat itu. Ya Allah, ampunilah dosa hamba ini. Hiks," aku Miwa tetap dengan airmata kesedihannya. Teringat banyaknya dosa yang ia perbuat pada anak malang itu.
"Tante nggak pernah mikirin perasaannya Lala ketika tante marah-marahin karena nggak becus kerja. Tante nggak pernah mikir gimana laparnya Lala ketika makanan yang dimasaknya habis dimakan sama anak tante. Tante nggak pernah mikir, pikiran tante terlalu picik."
Miwa mengambil napas dalam untuk melanjutkan curahan hatinya itu. Napasnya satu-dua karena dibarengi oleh sesenggukan menangis.
"Dan yang tante tau Lala nggak pernah ngeluh. Tante jadi iri dengan keimanan gadis itu, andai dulu tante sayang padanya seperti anak sendiri. Mungkin ia akan sedikit lebih bahagia." Lagi-lagi airmata itu mengalir. Kerudung biru tua yang pakainya sudah penuh airmata. Basah.
"Tan, udah. Itu emang udah takdirnya Lala." Mentari lagi-lagi berusaha membujuk. Ia susut airmata yang mengalir itu perlahan. Sedangkan kakaknya yang selalu mengekori hanya terdiam di sudut ruangan, memandang kejadian ini tanpa berniat membantu untuk membujuk paruh baya itu menghentikan tangisannya.
"Sekarang Tante sungguh sangat menyesal. Jika saja tante mau membagi kasih sayang pada anak malang itu sedikit saja, mungkin ia tidak akan mendapat penyakit berbahaya itu. Ini salah tante juga yang tidak mau mengurusinya, hingga terpaksa Koko yang mengerjakannya. Laki-laki perokok berat itu. Ini salah tante."
"Ah, segitu menyedihkannya hidup lo La. Maafin gue yang nggak tau apa-apa tentang lo," batin Mentari. Merasakan nyeseknya tidak disayang siapapun. Mungkin tidak sebanding dengan yang dirasakan Lala sebab mereka berbeda nasib. Mentari penuh dengan kasih sayang, kecuali ayahnya. Selebihnya? Menyanyangi tentu saja. Mentarinya saja yang tidak bersyukur. Dulu. Sekarang tidak lagi.
"Istighfar Tan. Tante nggak boleh berandai-andai gitu. Ini emang takdinya Lala, Tante yang sebagai perantaranya. Udah ya Tan. Jangan kayak gini lagi, nanti Lala nggak tenang di alam sana."
Pelan-pelan namun pasti. Air mata yang mengalir mulai berkurang, hanya tinggal sesenggukannya saja. Miwa mulai tenang kembali. Mentari benar, pikirnya. Untuk apa menyesali hal yang telah terjadi? Seharusnya ia memperbaiki yang akan datang, bukan masa lalu yang tentu saja tidak bisa ia perbaiki lagi.
"Sekarang tante istirahat ya, biar Mentari yang jagain tante Sinta."
"Nggak usah, biar anak tante saja yang ke sini. Kamu pulang saja, toh, besok mau sekolah 'kan?"
"Tapi, tan—"
"Udah. Tante nggak papa kok. Maaf ya, tante nangis mulu dari tadi. Kamu jadi repot."
"Nggak kok tan. Kalau gitu, Mentari pulang ya, tan. Jangan lupa, istirahat. Oke?"
"Hmm."
"Wassalamualaikum, Tante Sinta, tante Miwa."
"Waalaikumussalam, Mentari."
Mentari keluar dengan menarik Fajar bersamanya, ia ingin kakaknya itu bercerita satu hal saja, penyebab laki-laki itu terlihat murung hari ini. Sedang ada beban apa di pikiran laki-laki itu sebenarnya?
"Kak, lo kenapa sih? Murung aja. Ada masalah apa? Coba cerita sama gue."
«●»
Kesan dan pesan, please?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Senja [End]
EspiritualBerawal dari kerinduannya pada sang Ayah, gadis itu memulai kembali kehidupannya di kota yang telah lama ia tinggalkan. Mulanya, ia pikir semua akan berjalan sesuai dengan perkiraannya namun yang kejadian malah sebaliknya. Dari hal itu ia mengambil...