20. Ada Apa

41 7 0
                                    

Setelah seharian libur belajar, hari ini Mentari kembali melangkahkan kakinya ke sekolah lagi. Membawa tas punggungnya dengan santai memasuki kelas.

Kelas tidak sepi, sudah ada yang berisi beberapa, tidak ada yang menanyakan kabarnya, dan ia pun tidak berniat untuk memberitahu mereka. Tidak penting.

Duduk di bangkunya biasa, Mentari mengeluarkan ponsel dari saku rok. Ada beberapa panggilan tak terjawab tertera di sana, membuatnya terkejut. Ponsel ini memang sejak pulang sekolah lusa itu tidak diceknya lagi. Ia terlalu sibuk.

Hatinya mendadak khawatir. Ada apa teman sebangkunya itu memanggil beberapa kali? Tanpa perlu berpikir lebih lama lagi, perempuan itu menyentuh tombol hijau. Memanggil.

Panggilan itu tidak terangkat, sampai kelas ini penuh oleh orang-orang pun ia tetap sama. Membuat si pemilik ponsel gelisah tak menentu. "Ada apa?" batinnya.

Matanya melirik jam pada ponsel yang masih menyala, bel beberapa menit lagi akan berbunyi. Sebuah ide tercetus di pikirannya. Ia berdiri, tangannya cepat menyambar tas di bangku lalu membawanya pergi di antara tatapan heran teman-temannya.

Langkah kakinya membawanya menuju tempat ojek pangkalan berada. Di sana sudah berjejer tiga motor bersama pengendaranya. Ia mendekati salah satunya, mengucapkan sebuah nama rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, langkah kaki Mentari terhenti di depan pos sekuriti. Ia dilarang masuk, sebab bukan jam besuk. Tanpa bisa melawan, ia berbalik kembali, bukan ke sekolah-karena jika ke sana bisa dipastikan ia terlambat-, tapi ke berlawanan arah, entah kemana.

Sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk. Memikirkan ada apa dengan teman sebangkunya itu. Ini salahnya juga, kenapa tidak mengecek ponsel seharian kemarin, ia takut terjadi sesuatu yang buruk.

"Pak, berhenti, Pak!"

Motor berhenti. Ini bukan area apartemennya, tapi jalan raya. Menyodorkan bayaran pada tukang ojek, ia turun dari motor dan melepaskan helm dari kepala.

Motor dan pengendaranya itu berlalu-setelah menerima uang serta helm miliknya- meninggalkan Mentari di tepi jalan nan ramai itu sendiri.

Kaki Mentari melangkah menuju sebuah halte yang tampak ramai.

"Anin, kan?" tanyanya pada anak kecil yang berdiri dengan menggendong tas itu sambil tersenyum.

"Eh, kak ..., Nda, Nda, kakak ciapa, Nda? Kaak ...." Bocah itu antusias, ia menarik-narik baju milik ibu yang berdiri di sampingnya agar memperhatikannya.

Akibat tarikan pada bajunya, perempuan yang hari ini memakai baju terusan berwarna dongker itu menoleh. Senyumnya terkembang ketika melihat Mentari-yang telah berdiri tegak kembali-di dekat anaknya.

"Mentari, darimana?"

"Ah iya, kak Mentali," cetus bocah kecil itu ketika ingat kembali nama perempuan yang memakai seragam sekolah di depannya ini.

"Dari rumah sakit, Tan, jenguk teman, tapi karena jam besuknya belum buka, nggak jadi."

"Oo, iyalah, masak sepagi ini datangnya, terus sekarang mau kemana? Sekolah?"

"Nggak, kayaknya sekarang udah telat juga. Kalau Anin mau kemana?"

"Cekolah paud, Kak."

"Oo, udah sekolah, ya."

"Iya, doong."

"Kakak boleh ikut nganter, nggak?" Mentari menunduk untuk memandang Anin lantas kembali menegakkan kepala.

"Boleh, ya, Tan?" Ia meminta persetujuan pada Halimah yang memperhatikan mereka. "Suntuk juga kalau pulang sekarang, nggak ada kerjaan."

"Boleh. Yuk, busnya udah datang, tuh."

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang