22. Perubahan

36 5 0
                                    

Bunyi-bunyian yang memekakkan datang silih berganti ke telinga perempuan yang kali ini sedang fokus menatap papan tulis. Matanya memang ke sana, namun pikirannya tidak sama sekali. Bunyi yang dimaksud adalah suara halilintar yang waktu itu pernah terdengar begitu dekat dengannya, bukannya bising kelas yang bak lebah, itu ia tidak peduli.

Masih terekam jelas di ingatannya: bagaimana peristiwa itu terjadi, bagaimana histerisnya ia waktu itu, dan bagaimana ia begitu mengutuk diri lantaran menyalahi diri sendiri. Begitu menyesakkan, masih terasa hingga sekarang sebenarnya. Tapi, dilain sisi ia ikut mengutuk bibinya itu lantaran tidak memberitahunya bahwa ia punya seorang kakak.

Mata itu menutup, cukup lama dan helaan napasnya terdengar mengiringi.

"Mentari! Kamu tidur?" Sahutan atas namanya membuat Mentari membuka mata cepat. Dilihatnya orang yang baru saja menegurnya menatap padanya dengan tajam.

"Tidak, Pak."

"Lalu kenapa menutup mata?"

"Hanya mengantuk."

"Ya sudah, sana cuci muka, saya tidak suka ada yang tidur di jam pelajaran saya. Kalau tidur di rumah."

"Iya, Pak. Baik."

Mentari melangkah keluar kelas dengan tergesa, bukan karena takut dimarahi, ia hanya ingin keluar lebih cepat dan melakukan refresing segera agar otaknya tidak makin berdenyut keras.

Lorong terlihat sepi. Waktu-waktu begini orang-orang memang lebih suka tidur di kelas daripada jalan-jalan di koridor seperti yang ia lakukan sekarang.

Sembari terus berjalan, otak Mentari masih terus berpikir, menganalisa banyak hal membuatnya terlihat bengong selama perjalanan.

"Awas!" Tarikan pada tangannya membuat Mentari tersentak kaget dan langkahnya terhenti tepat di hadapan tiang yang tinggi menjulang.

"Ma-maaf."

Sebelum sempat Mentari menoleh untuk melihat siapa yang membantunya, tangannya sudah lebih dulu dilepas dan ucapan maaf mengiringi.

Hendak berbalik. Tapi pergerakkannya lebih dulu diinterupsi, masih oleh orang yang sama terbukti dengan suaranya.

"Jangan menoleh!" ujarnya di sebalik tubuh Mentari. Laki-laki itu mundur selangkah, memberi jarak lebih besar di antara keduanya.

"Siapa?" tanya Mentari penasaran. Ingin sekali berbalik dan mengetahui siapa yang berdiri di belakangnya saat ini, namun tidak ia lakukan.

"Ingat Allah, ada ataupun tidak masalah."

"Maksudnya?" Mentari benar-benar sangat penasaran sekarang karena beberapa saat menunggu jawaban tidak ada yang berbicara lagi. Dan ia pun memutar tubuh, tapi yang ia dapati adalah ... kosong.

Baik, sekarang Mentari mulai merinding. Apalagi menyadari dimana ia sekarang berada. Lab kimia yang kosong-kebetulan tidak ada yang belajar saat ini di sana. Tapi, makhluk-entah mau dibilang apa- itu tadi memegangi lengannya dan juga, sekarang masih siang mana mungkin makhluk halus berkeliaran. Kenapa malah bahas itu? Hal itu malah hanya akan menambah rasa takut Mentari.

Pandangan Mentari mengitari sekitarnya. Masih sepi. Mencoba menyakinkan diri bahwa laki-laki yang baru saja berucap dengannya adalah benar-benar manusia, ia melangkah kembali. Menuju toilet yang pinta gurunya untuk cuci muka.

«●»

"Jangan lupa belajar di rumah, pekan depan kita akan mengadakan penggulangan harian. Materinya bab tiga dan empat, ya."

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang