8. Sanksi

48 6 0
                                    

Kabar tentang putusnya Salma dan Fajar menyebar begitu cepat, lalu Mentari sebagai orang ketiga di hubungan mereka pun tak luput dari bahan gosip terhangat.

Mentari yang masih menunggu Lala shalat di mushala pun belum tahu gosip tentang dirinya. Ia baru tahu ketika telah sampai di kelas. Suara para pengosip kelasnya langsung menyambut dengan berbagai eng ... entah bisa disebut pujian atau hinaan. Dan seperti biasa pula akan ada penonton modal gratisan di sekitar mereka. Ikut-ikutan.

"Mentari! Dipanggil Bu Ani." Suara Lastri-teman sekelas mereka- menginterupsi wawancara tak menguntungkan Mentari itu. Dengan langkah gontai Mentari berlalu, di belakangnya Lala menyusul.

"Aku temani, ya?" tawar Lala sembari terus mengikuti langkah Mentari.

"Gak usah. Lagian sebentar lagi bel bunyi. Lo nggak mau 'kan ketinggalan pelajaran sampe dua kali dalam sehari?" cegah Mentari. Ia menghentikan langkah untuk memastikan temannya itu tidak lagi mengikuti.

"Tapi, kamu ...,"

"Gue 'kan cewek strong. Sono, balik." Mentari mendorong Lala pelan kembali ke kelas yang belum terlalu jauh mereka tinggalkan. Dengan setengah terpaksa Lala berbalik, "Yang sabar!" soraknya.

Mentari kembali melanjutkan langkah yang tertunda. Di sana, di ruangan yang pertama kali ia kunjungi ketika MOS sedang menunggu untuk kembali ia masuki. Sebelum menekan handel pintu, Mentari menyempatkan mengetuk pintu dan berucap permisi.

Ruangan berukuran 4x4 ini masih sama seperti pertama kali Mentari masuki. Setiap sudutnya, tetap ada lemari buku setinggi dua meter. Pandangan Mentari terpaku pada susunan bangku dan meja, di sana duduk Bu Ani yang berhadapan langsung dengan Salma.

Beberapa saat kemudian, Mentari telah kembali lagi ke kelas dengan surat peringatan di tangan. Sebelum ia melangkah memasuki kelas yang sedang senyap, kertas itu telah lebih dulu masuk tong sampah menjadi penghuni baru di sana.

Mengucap permisi, Mentari melangkah mendekati bangkunya berada. Di sana Lala sedang mencoret-coret buku asal, mungkin tidak sabar mendengar kisah Mentari di ruang BK.

"Gimana?" kepo Lala, tak sabaran. Pandangannya pada Mentari sekilas menyiratkan tanya. Dan tentunya ingin dijawab secepatnya pula.

"Gimana, apanya?" tanya Mentari seolah tidak mengerti, ia hanya tidak ingin bercerita, apalagi pada orang baru yang kepo 'banget' seperti Lala ini.

Mentari mengeluarkan buku tulisnya dari dalam laci meja disertai pena di dalam lembaran kertasnya. Meletakkan mereka di atas meja.

"Tadi di BK."

"Oo ...."

"O aja?"

"Terus apa?"

"Ceritainlah," desak Lala membuat Mentari tidak betah.

"Mentari, Lala!"

Obrolan kecil di bangku depan itu terhenti karena dikejutkan suara guru memanggil nama mereka.

Mentari mendengus.

"Ngomong aja terus, lo," bisiknya pelan. 'Susah juga punya teman begini,' batinnya melanjutkan.

Sorenya, ketika matahari sore sedang merekah di ujung sana. Mentari sedang menikmati secangkir coklat di balkon kamarnya. Merenungi nasib hidup.

"Mentari!"

Terdengar derap langkah dari belakang mendekat. Mentari menoleh, ia dapati mamanya datang dengan tangan menenteng plastik putih berisi sebuah kotak-karena sedikit menerawang.

"Apa, Ma?"

"Nih, mama beliin hape. Model terbaru, loh. Baru dirilis beberapa bulan ini. Mama yakin, kamu pasti suka. Oh iya, maaf ya mama baru beliin sekarang. Mama lupa, soalnya kamu juga nggak bilang," keluh Dini, menyatakan rasa bersalahnya. Ia menyodorkan plastik putih itu pada Mentari dengan diiringi senyum terbaik. Tak sabar ingin melihat ekspresi anaknya itu. Apakah bahagia sambil lompat-lompat kegirangan? Atau ....

"Aku emang nggak butuh amat, kok, ma. Buat apa aku minta." Mentari menyeruput coklatnya yang tadi ia letakkan di atas pembatas, setelah meletakkan plastik putih itu juga disana.

Pupus sudah hayalan Dini. Mentari seperti tidak berminat pada hadiah yang ia bawakan. Bahkan membuka sedikit untuk mengintip pun tidak anaknya itu lakukan. Dini memandang iba pada plastik yang sekarang telah berada di atas pembatas.

"Tapi, ini kamu harus pakai ya. Biar mudah komunikasi sama mama atau temanmu. Ya? Mau, ya?" bujuk Dini dengan memelas. Sayang sekali jika sampai ponsel yang ia beli itu harus disimpan saja. Kalau rusak dan tak dipakai, kan rugi.

"Iya deh. Lagian udah mama beliin juga. Mubazir kalo nggak dipakai." Mentari memeluk plastik putih itu erat, menyakinkan mamanya bahwa ia akan menjaga ponsel itu.

"Oke deh. Kalau gitu mama mandi dulu, ya?" Senyum Dini kembali merekah, sekarang ia telah hendak berbalik masuk ke dalam ruangan. Berjalan pelan.

"Ma!?"

Teriakan Mentari menghentikan langkah perempuan dengan sepatu high heels itu. "Apa?" sahutnya tatkala menolehkan kepala.

"Thanks!"

Dini menghilang ditelan pintu setelah mengacungkan ibu jarinya. Tak lupa pula senyum iklan pasta gigi mengiringi.

'Aku pengennya mama dan papa. Bukan ponsel.'

Mentari memandang nun jauh ke depan. Atau mungkin hanya tatapan kosong tanpa tahu ia sedang melihat apa.

«●»

Mentari melangkah cepat ke belakang sekolah, di tangannya telah tergenggam kunci gudang. Kunci itu diberikan Ibu Ani kemarin agar ia tak perlu bolak-balik untuk pinjam kunci.

Hari ini Mentari akan mencicil hukuman yang diberikan Ibu Ani padanya kemarin, akibat ia menampar Salma. Hukumannya yaitu membuat taman di dekat gudang. Mulai dari membersihkan semak berlukar, mencangkul, menanam dan memupuknya.

Sebenarnya ini tidak adil. Mentari juga ingin membeberkan keburukan Salma agar dapat hukuman yang setimpal. Tapi, bagaimanapun Salma telah membuatnya bertemu dengan kakak kelas pujaannya, kak Fajar. Jadi untuk sekarang, Ira memaafkan perempuan itu dulu.

Rencananya nanti sepulang sekolah Mentari akan memulai membersihkan semak-semak itu. Ia telah membawa baju ganti dalam tas, jadi tinggal melaksanakan tugas saja agar cepat selesai.

Menyimpan barang bawaan di teras gudang, Mentari mulai membersihkan semak-semak pengganggu. Setelah hampir separuh pekerjaan selesai ia bersihkan Mentari berehat sejenak, peluh membanjiri wajahnya.

Buk.

Suara sesuatu yang jatuh dari ketinggian membatalkan niat Mentari untuk mengambil makanan dalam tas. Dengan mengendap-endap Mentari menuju ke belakang gudang, semak belukar cukup banyak di situ tanda jarang dibersihkan.

Langkah seseorang menginjak dedaunan kering terdengar mendekat. Mentari memundurkan langkahnya, takut diketahui.

Mata Mentari membola ketika melihat siapa yang baru saja turun.

"Kak Fajar?!"

«●»

Kesan dan pesan, please?

Mentari Senja [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang