4. yakin?

104 24 24
                                    

Padahal seminggu yang lalu Davian sudah masuk sekolah, tapi kenapa baru sekarang MPLS dijalankan? Bukankah harusnya seminggu pertama sekolah?

Kesal sekali Davian ketika menunggu kepala sekolahnya berbicara panjang tentang sekolah mereka—walaupun tidak ada yang masuk ke ingatan Davian.

Davian berdiri sambil melirik kesana kemari, dengan posisi berdiri yang tidak sigap. Persis seperti murid yang mulai bosan ketika upacara.

"Lama bener," gerutu perempuan yang ada di sebelah Davian. Membuat fokus Davian teralihkan padanya.

"Hah?"

"Eh, suara gue kedengeran?"

Davian mengangguk pelan.

"Salah dia juga sih. Tadi kan katanya udah sekian tapi tiba-tiba ada penambahan satu yang malah menjalar kemana-mana."

Perempuan di sebelah Davian itu tertawa. "Lo ruangan berapa?"

"Ruangan dua—eh lo juga kan?"

"Segitu diemnya ya lo sampe ga sadar temen lo sendiri ada di samping lo?"

"Kita kenal aja belum, gimana—"

"Makanya jangan tidur terus, Davian."

Davian sedikit terkejut, perempuan ini tahu namanya, tapi kenapa Davian enggak tahu nama dia?

"Ruangan dua, masih tetap di ruangan dua selama MPLS."

Ada rasa senang di hati Davian ketika kepala sekolahnya mengatakan hal itu. Terlebih lagi, dia sudah dekat dengan teman satu ruangannya walaupun seminggu masuk sekolah, mereka belum mengadakan kegiatan apapun.

MPLS kali ini, kakak ruangan mereka akan mendatangi satu persatu barisan ruangan yang bakal mereka bawa—lebih tepatnya mereka yang menjaga kelas itu.

Davian berjinjit untuk melihat siapa yang menjadi kakak ruangannya. Harapannya tentu saja kakak-kakaknya. Terlebih lagi Dipta yang menjadi ketua osis buat tahun ini. Bulan dan Rieyan juga anggota osis. Apalagi Arkan yang merupakan wakil osis.

Yah, Davian tinggal terima saja siapapun yang menjadi kakak ruangannya.

Di depan sana, yang dia lihat adalah cewek, dan tentu saja orang yang dia harapkan—Rieyan— menjadi kakak ruangan untuk yang cowok. Dan ada Arkan juga yang berdiri di sebelah Rieyan.

"Yes!" suara Davian memang terdengar samar, tapi perempuan di sebelahnya menoleh dan memberikan tatapan bertanyanya ke Davian.

"Kenapa?"

"Itu, yang jadi kakak ruangan kita, kakak gue di kos. Seenggaknya gue kenal gitu kan,"

"Enak dari mananya." perempuan itu melipat tangannya di depan dada. Kemudian berdecak.

"Hah?" Davian menaikkan sebelah alisnya. "

"Yang di sebelah kakak lo itu, kakak gue. Yah gue gak bisa sebebas biasanya. Gak seru lah. Ketara banget kalau gue bobrok aslinya padahal di rumah diem terus,"

"Lo cerewet juga ya ternyata?" kalimat Davian sukses membuat perempuan di sebelahnya mengernyit.

"Hah?"

"Gue kira lo pendiam gitu, soalnya lo di kelas gak seheboh yang lain,"

"Gak seheboh, belum berarti gue pendiam," perempuan itu memfokuskan dirinya ke depan. "Kesel banget gue jadi gak bisa nunjukin diri asli gue."

"Ya gak gitu sih, tunjukin aja kalau lo itu beda di sekolah. Kaya, lebih aktif?" tanya Davian dengan alis tebal sebelah kanannya yang terangkat.

Perempuan itu mengangguk kecil. Membenarkan ucapan Davian. "Bener sih, bener banget malah."

semesta tujuh warna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang