Pulang sekolah sebelumnya, waktu hari pertama MPLS, entah keberanian dari mana, Diego mengajak Anna selaku sekretaris ekstra kurikuler musik ikut dengannya untuk menjaga stan.
Tentang perasaan Diego ke Anna, teman-temannya tidak berbohong dan benar adanya kalau Diego menyimpan perasaan terhadap perempuan itu. Namun Diego masih sadar siapa dia.
Diego berpikir kalau dia enggak cocok tiap disandingkan dengan Anna yang cantik dan berbakat dalam segala hal.
Dan juga, Diego dengan segala keberaniannya, mengajak Anna pulang bersama. Walaupun harus berjalan kaki— karena Diego yang tidak membawa kendaraan.
Dan hal lain, agar dapat lebih lama di jalan. Alasan klasik yang digunakan setiap orang untuk crush -nya.
"Anna," panggil Diego, melirik sedikit perempuan yang sedang berjalan sambil menatap ke arah langkah kakinya.
"Iya kak?" Anna menolehkan wajahnya, "jangan gitu lihat akunya,"
Diego tersenyum tipis, "Kenapa sih? Cie, Anna malu dilihatin sama kakak ketuanya ya?"
"Siapa sih? Gak kenal!" Anna berlalu dengan cepat. Membuat pemuda itu menarik tangannya. "Kak Diego!"
"Iya!" jawab Diego dengan nada yang dia buat mirip dengan Anna.
"Ih!"
"Ih!"
"Jangan ikutin aku!"
"Jangan ikutin aku!"
Anna menatap sebal ke arah Diego. Kemudian meninggalkan laki-laki itu sendiri di belakangnya dan berjalan dengan langkah panjang. Sambil menutupi wajahnya yang memerah akibat laki-laki itu.
"Lucu banget sih, Na."
...
"Ardehanku sayangku, cintaku, kalau lo main game terus, apa gunanya gue nungguin lo dari tadi disini?"
Protesan perempuan yang duduk di depan Ardehan itu tidak membuat laki-laki yang fokus dengan handphonenya tergerak untuk menyudahi aktifitasnya memainkan game.
Alih-alih menyelesaikan, Ardehan malah menjawab, "Biar ada yang marahin gue waktu keceplosan ngomong kasar,"
Rasanya Deya ingin menceburkan Ardehan ke dalam kolam ikan di depan kampus mereka. Tapi jangan, nanti tidak ada lagi sosok bawel yang tiba-tiba datang ke hadapan Deya dengan wajah ditekuk dan rengekan hanya karena kalah saat main game.
Entah sejak kapan Ardehan jadi penyuka game. Perasaan, lebih dari empat tahun mereka berteman, Baru akhir-akhir ini Ardehan sesuka itu.
Dan Deya merasa tersaingi dengan game.
"Jangan ngambek dong, Deya."
"Siapa yang ngambek, ck!" Deya berdecak kesal. Lalu memainkan handphonenya. Perempuan itu melirik ke arah jam tangan. "Udah jam enam, lo gak mau balik aja?"
"Masih mau ngadem."
"Kan bisa main di kos. Kamar lo kan juga adem, Dam. Bisa mabar lagi sama anam kos. Tuh siapa yang anak baru? Davian kan? Dia kan juga suka game, Arkan jangan ditanya juga—"
"Di kos gak ada lo, gak enak. Gue gak suka."
"DIMANA LETAK KORELASINYA BAPAK DEH—"
Ardehan buru-buru menutup mulut Deya dengan sebelah tangannya yang menganggur, "Di perpus bege. Malah bikin ribut."
"Tapi, Gue seneng deh,"
"Kenapa?"
"Kosa kata lo bertambah terus. Gak irit ngomong lagi. Bahagia banget gue sebagai teman lama,"
"Iya Dey, apasih yang enggak buat lo?" jawab Ardehan.
Sesaat kemudian Deya menarik sisi kanan pipi Ardehan, membuat laki-laki itu meringis dan melirik Deya dengan tatapan protesnya. "Siapa si yang ngajarin seorang Ardehan ngomong kaya gitu?"
Nada ngomong Deya mungkin kedengaran biasa saja, tapi siapa tau kalau di dalam hati, Deya udah teriak-teriak karena, yah?? Ardehan?? Ngegombal??
Gak tau itu masuk dalam konteks ngegombal atau enggak, tapi berhasil mengacak hati Deya yang sebelumnya tersusun rapi saat datang ke tempat ini.
"Dehan, kenapa si lo milih psikolog sedangkan lo waktu SMA tuh ya, kaya musuhan banget sama hal yang kaya gitu? Gue ngomong aja, lo kaya masuk telinga kanan keluar telinga kiri," ucap Deya—mengalihkan pembicaraan sebelumnya.
"Mau tau?" Ardehan menoleh dan meletakkan Handphonenya di meja. "Kalau misalkan gue jawab jujur, hadiahnya apa?"
Perempuan itu tampak berpikir sebentar. "Hati gue aja deh hadiahnya,"
"Ya ampun, Dey, hahahaha." entah karena apa, Ardehan tertawa dan kemudian tersenyum, "Kalau alasannya karena lo, lo percaya kan?"
...
"Tau gak?"
"Gak!" jawab Rieyan saat Bulan melangkan pertanyaan sebelumnya. Membuat laki-laki yang sering dipanggil Bulan itu melemparkan bantal. Walaupun tidak tepat sasaran dan malah mengenai Davian yang tengah asik duduk sambil mengerjakan tugas.
Davian langsung melirik dua abangnya itu, dan melempar bantal itu lagi. Dan kali ini benar sasarannya. Tepat pada wajah Rieyan yang menimbulkan gelak tawa dari Bulan dan Davian.
"Rasain!" celetuk Bulan.
"Udah cepetan lo mau cerita apa?" tanya Rieyan.
"Kalau gue pacaran sama Aleena, lo bakalan percaya gak?"
"Ya kan pernah, walaupun dulu." jawab Rieyan. "Balikan?"
"Maunya, tapi dia gak mau,"
"Makanya jadi cowok yang santuy, jangan terlalu stuck sampe jadi cepat bosen." Rieyan mulai memberikan saran walaupun dia tau, Bulan tidak pernah mendengarkan sarannya.
"Berarti boleh suka sama banyak orang dalam satu waktu dong kak? Atau waktu pacaran sama satu orang, kita boleh suka sama orang lain?" tanya Davian yang kini ikut menimbrung pembahasan orang di depannya.
"Yah gak gitu dek..." Rieyan tampak pasrah dengan hal yang sebelumnya dia sebutkan. Sepertinya Rieyan salah mengambil kalimat.
"Jadi gimana, Lan? Aleenanya udah maafin lo emang?"
Bulan mengangguk, "Buat baikan udah, sih."
"Jangan terlalu lo pikirin lagi deh kayanya, Lan. Cewek juga gak cuma Aleena. Yah kalaupun lo masih suka, suka dalam diam apa salahnya kan? Kaya suka boleh walaupun gak memiliki. Apalagi kalau udah dekat juga, sebagai teman apa salahnya?" nasehat Rieyan dijawab anggukan oleh Bulan.
"Iya sih, gue aja yang ngegas banget. Jadi takut keulang,"
"Masa lalu mah, biarin aja tau, Lan."
Davian yang tidak mengerti ke arah mana omongan dua abangnya itu, melanjutkan tugasnya. Tidak lagi ikut menimbrung.
"Yan,"
"Hm?"
"Lo beneran suka sama temen online lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
semesta tujuh warna
FanfictionKisah ini ditulis agar kisah manis dari tujuh pemuda ini tidak hilang dimakan waktu. Manis pahit yang mereka lalui sangat berarti. Tujuh anak manusia dengan kepribadian yang berbeda, pengalaman, masa lalu, dan tentunya perasaan yang berbeda. Mereka...