Akhir pekan seperti ini memang lebih baik dihabiskan dengan bersantai. Melupakan kesibukan sejenak yang membuat pikiran jenuh. Menarik diri dari penat, letih, gelisah, dan bersenang-senang sebelum realita menghampiri dan hidup kembali seperti semula. Begitu juga dengan ketujuh pemuda yang keluar dari kamar dengan berbagai raut wajah.
Kali ini mereka sepakat untuk sarapan dan makan malam bersama. Pagi ini, yang bertugas membantu bunda menyiapkan ini itu adalah Diego dan Davian. Diego sudah rapi dengan kaus berwarna biru serta celana putih. Berbeda dengan Davian yang masih memakai baju tidur andalannya— kaus hitam dan celana abu-abu selutut. Wajah Davian masih wajah bantal— seperti anak bayi baru bangun yang membuat Bulan menghampiri Davian lalu menarik kedua sisi pipi pemuda itu dan kemudian kembali lagi ke kamarnya.
Yang lain masih sibuk di kamar masing-masing. Hanya ada Ardehan— yang dari pagi masih saja berkutat dengan laptop dan jari yang sibuk mengetikkan setiap kata untuk tugasnya. Pintu kamar Dipta terbuka, menampakkan laki-laki dengan rambut setengah basah dan juga senyumannya. Dipta menyapa setiap orang yang ia lihat di ruangan itu. Ia mengambil posisi di sebelah Ardehan sambil memainkan ponselnya. Ketika merasa bosan, ia mulai bangkit dan memilih untuk membantu orang-orang yang sibuk di dapur.
"Bunda! Dipta mau bantu!" ucapnya. Mulai ikut bekerja di dapur. "Rajin banget, Diego. Tumben." Ucapnya ke arah Diego dengan raut wajah yang ia buat semenyebalkan mungkin.
Diego menyipratkan air ke wajah Dipta. Membuat Dipta menendang pelan kaki Diego. "Bunda! Dipta nendang kaki Diego!"
"Berantem terus, lama-lama lo berdua pacaran." Sahut Rieyan yang menarik kursi kemudian duduk di meja makan.
Diego melirik ke arah Anna sekilas, perempuan itu tidak memberikan reaksi apapun dan terus fokus dengan apa yang ia kerjakan. Membuat Diego melengkungkan kedua sisi bibirnya. Rieyan melihat itu dan menertawai Diego dalam hati.
"Bang Diego cemberut tuh, Kak Dip! Please, lo malah cemberut gitu sih, Bang? Maafin gue, ya? Gue enggak serius waktu bilang, maaf ya?" Rieyan berjalan mengikuti langkah Diego, yang berakhir kakinya mendapat sebuah injakan dan kemudian ditekan oleh Diego. Rieyan meringis, menatap kakinya yang memerah. "Jahat banget, ck!"
"Bantu ini dong, Yan!" kata Anna menyuruh Rieyan mengangkat sebuah mangkuk ke meja makan. "Yang ini juga nanti jangan lupa bawa ya!" Anna pergi begitu saja tanpa memperhatikan Diego yang matanya bisa mengeluarkan api kapan saja. Sedari tadi laki-laki itu berdiri di dekat Anna, masa perempuan itu tidak menyadari atensinya?
"Yan! Biar gue aja yang bawa." Diego mengambil mangkuk tersebut dari tangan Rieyan lalu membawanya ke meja makan. Ia duduk sebentar, mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari tadi. Notifikasi pesan dari Anna yang muncul di layar kunci ponselnya, tangan Diego dengan cepat membuka ruang obrolannya dengan Anna.
Annaaa
| Kak
| Jangan kelihatan banget kita
pacaran di depan ayah bunda.
| Bunda enggak masalah, tapi ayah
sebenarnya belum ngasih aku
pacaran.
| Tapi kalau diomongin baik-baik
ayah pasti ngasih, karena orangnya
kakak.
| Hehehe maaf ya aku baru kasih tauDiego merasakan bagaimana pipinya mulai memanas. Ia tadi sudah takut jika seminggu belakangan ini hanya mimpi lantaran sikap Anna yang seperti acuh tak acuh padanya. Melihat Arkan berjalan ke arahnya, Diego dengan cepat memberhentikan Arkan. "ARKAN CUBIT PIPI GUE DONG, TOLONG!" ucap Diego dengan nada yang cukup kuat, tapi tidak sampai teriak. Ia hanya senang, tidak lebih, saat merasakan sakit pada pipinua akibat cubitan dari Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
semesta tujuh warna
FanfictionKisah ini ditulis agar kisah manis dari tujuh pemuda ini tidak hilang dimakan waktu. Manis pahit yang mereka lalui sangat berarti. Tujuh anak manusia dengan kepribadian yang berbeda, pengalaman, masa lalu, dan tentunya perasaan yang berbeda. Mereka...