24. satu kanvas

24 6 4
                                    

Kali ini bakalan fokus ke Arkan, so aku update dua sekaligus. Hope you like it!

...

Pikiran Arkan kalut. Tugas dan segala hal yang harus ia kerjakan sekarang, ia tinggalkan. betrgerak cepat untuk mengambil apa yang harus ia bawa. Ponsel dan dompet menjadi dua hal yang lebih dulu dia ambil. Arkan mengganti pakaiannya dengan setelah yang lebih hangat untuk keluar di malam hari.

Kaus yang sedikit tebal dengan jaket bertopi. Arkan segera mengambil kunci motornya, untung saja ia membawa motor ke kos-an. Dengan menyuruh sepupunya untuk membawakannya enam bulan yang lalu. Arkan melangkah ke kamar rieyan, mengabari jika ia tidak akan pulang ke kos hari ini.

Rieyan keluar dari kamarnya dengan wajah khawatir. "Lo yakin? mau ke rumah sakit sendirian?"

"Yah mau gimana lagi, Yan? Gue kabari deh kalau ada apa-apa. Bilang ya nanti kunci aja pagar, gue enggak pulang hari ini." Arkan dengan cepat meninggalkan Rieyan yang masih mau mengucapkan kata lain, laki-laki itu berjalan cepat ke arah garasi kos-an, mengambil motor miliknya dan menghidupkan motor tersebut. 

Sebenarnya Arkan ingin menuruti ucapan rieyan. Setidaknya mengajak satu anak kos-an ikut dengannya. Bahaya memang membawa kendaraan saat pikiran sedang kacau, tapi mau bagaimana lagi? Tugas sedang menumpuk, apalagi hampir semua anak kos-an masuk ke dalam organisasi sekolah. Benar-benar sedang masa sibuk, maka sebab itu arkan memilih pergi sendiri. Agar tidak merepotan yang lain.

Setelah kakaknya menelpon, sebenarnya Arkan masih tidak dapat percaya. Bisa saja mereka mengatakan hal tersebut karena ingin Arkan kembali ke rumah. Tapi setelah adik dan sepupunya mengirim pesan serupa, rasanya dunia Arkan runtuh.

Mau bagaimanapun laki-laki itu tetap ayahnya. Panutan Arkan dalam menjalani hidupnya, although how much he hates his dad. Naluri anak yang akan selalu menyayangi orangtuanya walaupun ada bagian kecil dari hatinya yang masih tidak menyukai orang tersebut. Arkan akhirnya mengubah pola pikirnya, memaafkan masa lalu, dan berjanji tidak lagi membenci ayahnya. Arkan meyakinkan dirinya kalau yang ia benci adalah bayangan menyakitkan yang terjadi di masa lalu. Bukan sosok yang ia panggil ayah.

Bulir bening mengalir pada pipi tirus Arkan, kaca pada pelindung kepalanya ia buka, menghapus air yang terus mengalir tanpa henti. Arkan sempat oleng saat membawa motor tadi, bahkan hampir jatuh dan menabrak trotoar. Sampai akhirnya anak tengah dari tiga bersaudara itu sampai di rumah sakit yang disebutkan kakaknya. 

"Gue udah di depan, lo mau turun atau gue yang naik ke atas?" tanya Arkan pada panggilan yang tersambung ke kakaknya. "Oh... nomor tiga ratus paling pojok, sebelah kiri? Lo mau nitip apa?"

Arkan menunggu kakaknya menjawab. Namun tidak ada lagi suara dari ujung sana, laki-laki itu mematikan panggilan. Semakin lama ia menunggu jawaban kakaknya, semakin lama juga ia bertemu ayahnya.

Dengan langkah panjang, Arkan berjalan ke arah ruangan yang dimaksudkan kakaknya, langkahnya lebih berat. Napasnya tersenggal, sebelum akhirnya sampai di depan ruangan yang ia tuju. Di dalam sana terlihat ayahnya dengan selang infus yang terpasang di tangan kiri, tiga botol, dan hal tersebut sukses membuat hati Arkan seperti teriris.

"Pasti sakit," gumamnya sebelum masuk ke dalam ruangan. Ada adik kecilnya, yang sedang duduk di sofa sebelah kasur ayahnya, dengan mata yang mengarah pada Arkan, namun tatapan adiknya justru terasa kosong.

Arkan mengambil posisi di sebelah ayahnya, menggenggam tangan keriput yang dulu selalu mengelus puncak kepalanya, selalu membantu Arkan berdiri saat Arkan jatuh ketika pertama kali belajar berjalan. 

"Ayah... Arkan disini..." lirinya. Kaki Arkan melemas, diikuti dengan bunyi pintu yang dibuka. Arkan menoleh dan mendapatkan kakaknya dengan dua plastik besar di kedua tangannya.

semesta tujuh warna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang