Davian menarik kerah baju Naya saat perempuan itu menolak ajakan dirinya, Juno, Minaka, dan Mino untuk berkumpul di lapangan. Perempuan itu bilang kalau dia tidak ingin membuang waktunya untuk hal yang tidak berguna seperti itu.
"Ih lepasin gak!" Naya terus saja memberontak saat Davian menariknya. "Gue gak mau keluar!"
Bukan mendengarkan protes yang keluar dari bibir perempuan itu, mereka malah semakin menganggu Naya yang membuat Naya melayangkan tatapan tajam pada mereka. Gelak tawa terdengar dari mulut keempat anak muda itu dan decakan sebal dari Naya.
"Lo semua, ck!" Naya tidak lagi protes dan membiarkan kedua tangannya ditarik oleh Davian dan Minaka.
"Makanya jangan mageran!" ucap Minaka sambil menyentil dahi perempuan itu.
"Lo aja tiap istirahat tidur mulu." ketus Naya. "Gak ada gue kan acaranya tetap jalan. Emang harus banget sama gue?"
"Iya!" ucap mereka berempat serempak.
Mino menarik hidung Naya. "Kalau gak ada lo, gak ada yang heboh."
"Halah, bang-"
"Heh mulut!" Davian yang sebelumnya hanya menarik tangan Naya, malah menyentil bibir perempuan yang hampir saja menceploskan kata kasar.
"Tindak asusila ini!" ucap Naya.
Di luar ruangan sudah ramai. Perempuan itu berusaha untuk melepaskan tangan para pemuda yang mengelilinginya ini. Tatapan-tatapan dari banyak orang, sudah membuat Naya risih.
"Udah. Iya ini gue ikut." kata Naya. "Tapi lepasin tangan kalian!"
Minaka, Davian, Mino hanya tertawa puas atas reaksi kesal yang diberikan oleh Naya. Sedangkan Juno berjalan di belakang mereka.Perempuan itu terus berbalik badan, seakan memantau jika saja ke empat laki-laki itu siap menganggunya lagi. Bahkan Minaka masih saja menganggu Naya dengan menoel pipi gadis yang sedang cemberut itu.
"Minaka!"
"Apa say?"
"Ck!"
Naya jalan lebih dulu dengan kaki yang dia hentakkan. Membiarkan ke-empat laki-laki yang jahil padanya itu mengikutinya.
"Naya jangan ngambek dong. Nanti dimarahin Davian kita." Minaka memang memiliki banyak nyawa sepertinya. Perempuan itu padahal sudah menunjukkan wajah kesalnya, tapi Minaka masih saja berani menganggu.
Jika saja Davian tidak turun tangan, teman-temannya itu pasti terus saja menganggu Naya. Tapi masa dia harus melerai di saat dia juga salah satu pelaku yang membuat Naya sebal?
Davian mensejajarkan langkahnya dengan langkah Naya. Menautkan jari mereka kemudian tersenyum lebar ke arah perempuan itu.
"Ayo, sama gue aja. Biar gak diganggu Minaka." Ucap Davian.
Naya terkejut. Sedangkan tiga orang yang ada dibelakang terus saja menggoda mereka.
"SIAP MPLS KITA DAPAT PJ!!!!"
....
Acara MPLS selesai. Seluruh anak murid baru beserta kakak-kakak osis sudah menutup acara ini dengan meriah. Tangis haru juga sempat terjadi. Walaupun baru seminggu bersama, rasanya mereka sudah dekat. Teman-teman yang satu ruangan di MPLS juga belum tentu teman sekelas mereka nanti.
Dan disini kelima orang yang sebelumnya sempat bertengkar. Davian, Juno, Minaka, dan Mino menatap haru ke arah Naya yang sedari tadi menahan tangisnya. Mata perempuan itu sudah memerah dengan bulir bening yang sedikit lagi jatuh.
Davian sudah bilang ke Naya. "Kalau mau nangis tuh nangis aja. Malu karena ada kita?"
"Nay, Nay. Biasanya juga malu-maluin kok jadi malu gini waktu mau nangis?" sahut Juno.
"Yah kan gue sedih aja. Kalau kita berlima gak sekelas gimana? Entar gak ada yang mau temenan sama gue gimana?" suara Naya seperti tertahan.
"Makanya jangan galak jadi manusia." Ucap Minaka yang mendapat jitakan di dahinya oleh Juno.
"Orang lagi sedih kok digituin sih,"
"Yaudah. Doa aja semoga kita sekelas. Jalur kita kan juga sama semua?" kata Davian.
"Kan dibagi dua kelas," Naya mengerucutkan bibirnya. "Entar kalau gak sekelas kan gak seru."
"Iya," Davian mengelus puncak kepala Naya. Membuat tiga orang di depan mereka lagi-lagi menganggu mereka.
"Udah sih pasti dapat traktiran kalau kita beneran sekelas!"
...
Kos-kosan sepi. Semua sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Hal tersebut cukup asing menurut Davian yang baru beberapa saat bersatu dengan orang-orang di rumah ini. Arkan dan Dipta masih sibuk di sekolah sedangkan Diego, Rieyan, dan Bulan memilih pulang lebih dulu. Ardehan, laki-laki itu bilang dia akan pulang malam. Bahkan Ardehan menitipkan uang agar adik-adiknya itu dapat membeli makanan sendiri daripada menunggu Ardehan.
"Lan, order makanan yang murah meriah aja." saran Rieyan yang baru saja keluar dari kamarnya.
Bukan Bulan yang menoleh, melainkan Diego. Laki-laki bermata bulat itu menyahut, "Sekali-sekali tau Yan, pesan yang luar biasa aja. Gue lagi pengen makan yang lain."
"Makan yang lain, yang gimana?" tanya HYanbin. "Gue mah apa aja ngikut yang penting masih bisa dimakan."
"Pengen yang ada kuah gitu," kata Rieyan. "Apa ya selain bakso atau apa gitu."
"Inget kak Arkan sama 'a Dipta juga kak. Entar kelupaan hitungnya." Davian mendekatkan dirinya dengan Bulan sambil melirik ke layar ponsel yang digenggam laki-laki yang sering dipanggil Bulan itu.
"Mau mie sop yang pedes banget itu gak?" saran Bulan yang masih setia menggulir layar ponsel. "Yan, lo kuat makan pedes?"
"Yan yang mana? Gue apa Davian?" tanya Rieyan.
"Davian lah. Kalau lo ngapain ditanya. Apa aja juga lu embat." Kata Diego.
"Yah kan siapa tau lupa gitu." Kata Rieyan. "Lo mau kan dek?"
"Apa aja deh. Gue makan semua juga kok."
Bulan memesan makanan untuk mereka berempat. Setelah itu, mereka fokus pada handphone mereka masing-masing. Entah menonton, mendengarkan musik, menggulir layar pada aplikasi twitter, ataupun mengirimkan pesan pada orang terdekat.
"Kak, gue mau nanya deh." kata Davian.
"Kenapa dek?" Tanya Rieyan. Laki-laki yang juga sering dipanggil Yan itu memang selalu memanggil Davian dengan sebutan "dek" semenjak laki-laki itu pindah ke kos-an mereka.
"Kak Ardehan sama siapa tuh, ada hubungan ya?"
"Oh! Kak Deya?" tanya Rieyan. "Enggak dek. Kenapa?"
"Habisnya tadi kak Ardehan izin sama aku buat pergi. Dan waktu aku tanya sama siapa, dia bilang sama kakak itu."
"ALAMAT PULANG DAPAT TRAKTIRAN JADIAN INI MAH!"
...
"Jadi kita mau gimana?" tanya perempuan itu di akhir. "Mau gini aja atau lebih dari ini?"
"Kalau gue maunya lebih dari ini?"
...
KAMU SEDANG MEMBACA
semesta tujuh warna
FanfictionKisah ini ditulis agar kisah manis dari tujuh pemuda ini tidak hilang dimakan waktu. Manis pahit yang mereka lalui sangat berarti. Tujuh anak manusia dengan kepribadian yang berbeda, pengalaman, masa lalu, dan tentunya perasaan yang berbeda. Mereka...