"Kau tampan,"
Meskipun dia terlihat berantakan dan berkeringat, di mataku dia tetap tampan.
"Uh?"
Setelahnya dia terkekeh canggung, terakhir kukatakan kalimat itu mungkin saat dia akan memasuki sekolah menengah pertama. Sekarang dia sudah selesai dari perguruan tinggi. Tapi di mataku dia tidak pernah berubah, dia tetap anak laki-laki yang berubah kaku saat dipuji penampilannya. Semakin hari kakinya bertambah panjang, dia semakin tinggi dan suaranya bertambah berat.
Aku tahu dia mungkin sengaja pergi kamarku, memintaku agar makan kemudian minum obat, dan datang untuk terapi besok bersama hal-hal tidak berguna lainnya.
"Nuna..." panggilnya. "Jangan lakukan itu lagi." katanya setelah aku menoleh, dia menunjuk leherku.
Tapi aku hanya bergeming. Seharusnya kemarin aku lebih cepat, aku mencoba menggantung diriku kemarin siang namun gagal. Seharusnya dia tidak datang kemarin, seharusnya aku sudah mati hari ini.
Sebenarnya ini sudah hampir setahun sejak aku keluar dari rumah sakit jiwa itu yang artinya hampir empat tahun aku selalu menjalani hari-hariku dengan keinginan untuk mati. Semua obat yang kuminum, terapi yang kujalani tidak berpengaruh apapun. Aku tetap merasa tidak aman dan tidak punya apapun yang perlu dipertahankan agar aku tetap hidup, kurasa tidak ada alasan apapun yang menghalangiku dengan kematian.
Aku menghindari semua orang semampuku, bahkan aku sangat benci laki-laki sekarang. Aku takut. Kecuali pada Jisung, dia adikku satu-satunya. Tapi aku tetap menghindarinya semampuku. Aku lebih memilih pura-pura tidak mendengarnya saat setiap pagi kepalanya menyembul dibalik pintu kamarku hanya untuk mengatakan, "Nuna, ayo sarapan".
"Sebenarnya..." dia mengambil sesuatu yang dia simpan di lantai.
Kapan dia meletakannya? Aku bahkan tidak menyadari dia masuk ke kamarku dan duduk di tepi ranjang sebelum dia menyentuh lenganku tadi.
Ah, nampan makanan.
"Katanya kau tidak mau makan,"
"Aku tidak akan makan."
"Nuna..."
Saat menoleh, Jisung terlilat lelah. Sebenarnya selama ini dia selalu ada, saat aku mungkin berteriak dan menangis tidak jelas. Atau jika aku mencoba mengakhiri hidupku seperti kemarin, dia selalu ada. Pernah sekali, ketika aku kembali ke kamarku yang dindingnya masih berwarna merah muda dengan tempelan poster-poster. Pertama kalinya ibu bicara padaku setelah sekian lama melihat batang hidungnya sulit sekali. Bahkan jauh sebelum aku pergi, dia tidak nyata di hatiku.
Ibu bilang Jisung setiap hari pergi berdoa agar Tuhan mengampuniku. Meskipun saat itu aku pura-pura tidak mendengarkannya. Berbeda denganku, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku berdoa.
"Nuna,"
Aku menoleh lagi.
"Sekarang langit berubah warna." katanya.
Aku tidak menjawabnya, namun mungkin Jisung melihat rautku.
"Mau melihatnya bersamaku besok?" tanyanya lagi.
Dia pikir aku anak kecil? Ajakan lewat jebakan. Selama hampir empat tahun ini aku tidak pernah berkeliaran di luar. Aku takut bertemu orang-orang. Bagaimana jika orang yang sama pada tubuh yang berbeda. Aku tidak mau.
Aku mengerti jika orang-orang lelah denganku yang masih saja ketakutan dan halusinasi, begitupun Jisung. Selama ini aku benar-benar mengabaikannya. Bahkan di hari kelulusannya dari perguruan tinggi saat itu aku tidak sadarkan diri karena mencoba bunuh diri dengan obat-obatan yang kuminum tanpa aturan. Aku tidak mengerti kenapa ada anak laki-laki yang masih mengakui diri sebagai adikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONSTER: Apocryphal
Fanfiction❝i broke myself to fix you.❞ ©lie-ar 2018 [ not revised ] TW ⚠️ This book contains sensitive material relating to: Violence, Suicidal, Mental Issues, Child Abuse, Physical Abuse, Family Issues, Self-Harm, Suicide Attempt PG-15