12

940 140 7
                                    

"Kenapa tiba-tiba sekali? Aku belum siap-siap."

Seokjin memandang Sowon dari atas ke bawah. "Apanya yang belum siap? Kau mau berdandan? Tanpa dandan pun kau sudah cantik."

Sowon mendengus mendengar gombalan Seokjin. "Kau mau membawaku ke mana?" tanya Sowon.

"Ke taman. Gambarlah wajahku di sana."

Sowon mengernyit. "Kau benar-benar ingin di gambar? Kenapa tidak kirimkan saja foto dirimu padaku? Aku bisa melukis wajahmu di rumah saja!"

"Ah tidak. Itu terlalu berbahaya. Nanti kau akan melihat wajahku terus-terusan di galeri ponselmu."

Sowon menghela nafas mendengar ucapan Seokjin yang terlalu pede. Tetapi ada benarnya juga. Mungkin saja Sowon akan memandangi wajah Seokjin terus kalau dia punya foto pria itu.

"Tapi kau tidak pegal berpose tanpa bergerak? Melukis wajah orang itu tidak secepat yang kau kira. Aku bukan pelukis profesional seperti yang kau lihat di video-video yang beredar di internet."

"Maaf Sowon-ssi, kau berbicara terlalu banyak. Kau mau ku gaji atau tidak?"

"Hah? Kau memberiku gaji?"

"Tentu saja! Apa kau akan menggambarkan wajahku secara cuma-cuma?"

Sowon tampak berpikir. "Baiklah! Tapi, nanti sore aku ada jadwal mengajar les. Aku tidak yakin waktunya sempat," ucap Sowon.

"Kalau begitu izin saja! Aku sudah berjalan dengan jarak yang jauh untuk menemuimu, dan kau mau membatalkannya?"

"Salahmu sendiri, kenapa tidak memakai mobil ke sini. Kenapa harus berjalan kaki? Seperti tidak ada kerjaan saja." Sowon menggelengkan kepalanya.

"Aku memang tidak ada kerjaan. Tetapi mood hatiku sangat baik hari ini."

"Kenapa?"

"Aku dijodohkan!" seru Seokjin.

Sowon membeku. Ia menatap Seokjin tak percaya. "Apa itu benar?"

"Tentu saja benar. Kau tahu tidak? Wanita itu sangat cantik, dan kelihatannya sangat dewasa," goda Seokjin. Sebenarnya itu berbanding terbalik dengan fakta. Seokjin tidak suka dengan wanita itu. Ia hanya berniat membuat Sowon cemburu saja. Yah, hal itu karena Sowon kelihatan sekali suka dengan dirinya.

"Oh.. kalau begitu selamat," ucap Sowon sambil tersenyum. Ia bahkan tidak menunjukkan raut kecewa sekalipun.

"Selamat?"

"Selamat. Artinya orang tuamu telah mencarikanmu jodoh yang cocok dan berpotensi untukmu, bukan?"

Seokjin tersenyum. "Tenang saja, aku hanya berbohong. Nyatanya, aku menolak perjodohan itu."

Sowon melebarkan matanya. "Apa? Membatalkan?! Aku tak salah dengar?" tanyanya.

Seokjin tersenyum dan mengangguk dengan semangat. "Iya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayahku kalau tahu aku menolak lamaran itu langsung di depan kedua orang tua dan wanita itu di gerbang rumah. Aku yakin aku pasti akan diusir nanti," kekeh Seokjin.

"Ya! itu bukan lelucon! Kenapa kau tertawa? Kau berbohong lagi ya? Tidak usah mengada-ngada! Bukannya kau mau menuruti keinginan orang tuamu?"

"Siapa yang bilang aku mau? Aku baru akan setuju kalau mereka memasangkanku denganmu!"

Sowon terdiam karena kaget. Ia mencoba mencerna kembali kata-kata Seokjin. Namun Seokjin langsung berdehem. "Maksudnya kalau tipe perempuannya itu cocok dengan diriku," ralatnya cepat.

Sowon memilih untuk mengangguk saja. Namanya juga tidak peka.

"Jadi, kapan kau mau melukis wajahku? Aku menunggu."

sculpture | sowjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang