"Aku minta maaf, Jisoo-ya."
Jisoo mengernyit. "Untuk apa?"
Sowon menunduk dan menggigit
bibir bawahnya. "Aku memberitahu keberadaanmu pada Seokjin malam itu, di Jalan Hongdae."Mendengar hal itu, Jisoo mendadak lesu. Jujur saja dia kecewa dengan Sowon. Namun apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Marah terhadap Sowon sekarang tidak akan membuahkan hasil apapun. Yang ada, hanya bertambah masalah. Tetapi rasa marah adalah perasaan yang wajar terjadi saat merasa kecewa.
Jisoo diam tanpa menjawab. Ia langsung lanjut melukis tanpa memandang Sowon lagi.
Sowon menunduk karena merasa bersalah. "Aku tidak bermaksud mengatakan itu padanya. Aku sangat menyesal."
"Iya. Aku juga menyesal pergi dengan Jinyoung." Jisoo tersenyum. Namun, senyuman itu terlihat terpaksa. "Seandainya kemarin kami tidak pergi. Kau tidak akan memberitahukan itu pada kakakku. Tentu saja." Jisoo mengangguk mendengar ucapannya sendiri.
"Jisoo-ya..."
"Tidak apa-apa. Aku juga sudah tahu cepat atau lambat, ayahku pasti akan melakukan tindakan tegas. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain menuruti keinginannya."
"Apakah kakakmu juga akan dijodohkan?"
"Tentu." Jisoo mendengus. "Seperti sudah tradisi keluarga saja. Kalau aku punya anak nanti, aku tidak akan menjodohkan anakku. Tapi kalau Seokjin oppa, aku yakin dia juga akan menjodohkan anaknya."
Sowon menatap Jisoo heran. Sedangkan Jisoo kembali menatap lurus ke arah kanvas dan mulai melukis lagi. "Kecuali dia mengambil tindakan untuk melawan."
Sowon terpaku. Setelah itu mereka tidak berbicara lagi. Kegiatan les berjalan hingga satu setengah jam, kemudian mereka semua berpamitan untuk pulang. Jisoo sendiri diantar oleh Seokjin.
Sowon menghela nafas dan pulang ke rumah dengan lesu.
"Aku pulang..." lirihnya.
Aroma sedap dari telur dadar dan ayam goreng kecap pun tak dapat membuat mood Sowon naik. Padahal ia sudah minta maaf pada Jisoo. Namun ia menyesali kejujurannya itu, karena sekarang Jisoo jadi mendiaminya.
"Aigo putri ayah sudah pulang. Kenapa kau lesu saja? Kau rindu dengan oppamu?"
Sowon tak menggubris candaan ayahnya. Ia malah menanyakan hal lain. "Appa... apakah ayah pernah dijodohkan oleh kakek dan nenek?"
Sang ayah menoleh ke belakang, menatap anaknya yang terduduk lesu di meja makan. Wajahnya murung dan pucat. "Apa yang terjadi padamu?"
Sowon mengacak rambutnya gemas. "Aku berbuat salah kepada temanku."
Taewoo mematikan kompor gasnya dan menatap Sowon. Ia duduk di depan gadisnya itu. "Siapa? Apakah kesalahannya besar?"
"Ini masalah yang mirip dengan drama di TV. Entah kenapa sekarang terjadi dalam hidupku."
"Memangnya apa?"
"Aku melaporkannya sedang berkencan dengan pacarnya. Padahal ia tidak boleh pacaran dengan lelaki itu."
Taewoo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu akibatnya?"
"Dia dijodohkan oleh orang tuanya."
Taewoo menghela nafas berat dan meraih tangan putrinya kemudian mengelusnya pelan. "Sowon, ayah harap kau tidak mencampuri urusan orang lain."
Sowon mengangguk. "Aku tahu... Aku salah."
"Jadi, apa dia marah padamu?"
"Dia mendiamiku."

KAMU SEDANG MEMBACA
sculpture | sowjin ✓
Fiksi Penggemarbangchin area Kim Sojungㅡ Sowon, seorang pelukis yang mendapat kesempatan untuk melukis wajah Kim Seokjin, the most sculpted face. 🖌️start: 21 Mei 2019 🎨end: 12 Januari 2020