SPD-05| Kecewa

20.6K 858 1
                                    

Icha menuruni anak tangga setengah berlari. Ia menghampiri mamanya yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.

"Ma!" Seru Icha.

Lidya menoleh, lalau tersenyum menatap Icha. "Iya, sayang. Ada apa?"

"Emmm... Kapan Papa membuat surat itu?"

Lidya menghentikan kegiatannya. Ia menyuruh Icha untuk duduk dikursi tepat dihadapannya. "Sehari sebelum Papamu meninggal." Ucap Lidya tanpa menatap Icha.

"Apa?! Jadi Papa sempat sadar?" Tanya Icha tak percaya.

Lidya menganggukkan kepalanya.

"Kenapa Mama gak ngasih tahu Icha?" Tanya Icha marah.

"Papa kamu yang minta."

"Apa Papa benci sama Icha? Benci banget sampai-sampai Papa gak mau ketemu Icha untuk yang terakhir kalinya." Ucap Icha dengan mata berkaca-kaca.

Lidya menggelengkan kepalanya tangannya, ia beranjak dari kursinya menghampiri Icha lalu memeluknya. "Papa justru sayang sama kamu. Saking sayangnya, Papa rela gak bertemu kamu disisa waktunya. Papa gak mau kamu kecewa, kecewa dengan keadaan. Papa gak mau liat kamu terlalu berharap hingga akhirnya membuatmu terpuruk nantinya, karena Papamu tahu kalo ia akan segera menghadap sang pencipta."

"Justru ini yang membuat Icha kecewa. Kenapa Mama nurutin kemauan Papa? Kenapa Ma? Mama tahu, Icha merasa bersalah atas apa yang menimpa Papa. Bahkan Icha sempat berharap bisa lihat tatapan Papa untuk yang terakhir kalinya, merasa- kan pelukan hangat Papa untuk terakhir kalinya." Icha menatap Lidya dengan tatapan kecewa.

"Icha merasa jadi anak yang gak berguna. Ternyata bener kata Nenek, Icha itu pembawa sial, pem- bunuh, makanya Icha gak berhak buat ketemu Papa untuk yang terakhir kalinya." Lanjut Icha seraya tertawa hambar.

"Enggak, sayang. Kamu anak kesayangan Mama dan Papa-"

"IYA! ICHA YANG MEMBUAT PAPA MATI! ICHA PEMBUNUH!!" Icha berteriak seraya menghentak- kan tangan Lidya yang memegang kedua bahunya.

Icha berlari keluar rumah dengan dengan isakan tertahan, tak peduli dengan teriakan Lidya yang terus memanggil-manggil namanya.

💼💼💼

Arkan mengetuk-ngetuk pulpennya pada meja, sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya.

"Kemana gadis itu?" Gumamnya seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Buku-buku yang masih berserakan, dengan debu yang terlihat disekitar rak buku. Lantainya pun terlihat kotor.

Menghembuskan napas pelan, Arkan bangkit dari duduknya. Meninggalkan ruangannya menuju kelas untuk mengajar.

"Selamat pagi!" Seru Arkan saat memasuki kelas.

"Pagi, Pak!"

"Pagi ini saya hanya akan memberi tugas, dikarenakan saya ada kepentingan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan." Ucap Arkan seraya membuka halaman demi halaman buku paketnya.

"Gak asik dong kalo gak ada Bapak!"

"Yah.. gak jadi cuci mata deh."

"Yes! Pulang cepat."

Arkan hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan para mahasiswa.

"Kerjakan latihan soal halaman 13-15. Kalo sudah selesai kumpulkan dan simpan dimeja ruangan saya. Oh ya, hari ini siapa yang tidak hadir?"

"Alisha, Pak!" Seru Dewi yang duduk tepat dihadapan meja Dosen.

Arkan mendekat kearah Dewi, "Kenapa?"

"Tidak tahu, Pak. Sebenarnya dari tadi saya cemas mikirin dia. Tadi Mamanya telpon kalo Icha berangkat kuliah, tapi sampe sekarang dia gak ada." Ujar Dewi menjelaskan.

"Ya sudah, nanti saya diskusikan dengan Dosen lain dan saya akan bantu cari." Ucap Arkan pelan.

Setelah mengisi agenda, ia membereskan kembali buku dan alat tulisnya. Berdehem sebentar membuat semua mata tertuju padanya.

"Baiklah, kalau begitu saya pamit. Kerjakan dengan jujur dan tertib. Selamat pagi dan sampai jumpa besok!" Pamit Arkan.

Diperjalanan pulang Arkan memikirkan perkataan Dewi. Kemana gadis itu? Apa gadis itu benar-benar nakal seperti perkiraannya. Bolos disaat ada kelas. Tapi melihat raut wajah Dewi yang penuh kekhawatiran membuatnya semakin bingung. Kalau gadis itu udah terbiasa suka bolos, tidak mungkin temannya itu merasa khawatir.

Memijit pelipisnya sebentar ia menghentikkan laju mobilnya dipinggir jalan, takut-takut terjadi kecelakaan. Memejamkan mata sebentar seraya beristigfar. Matanya terbuka kala mengingat percakapannya dengan kedua orang tuanya semalam.

"Ayah ingin kamu menikah dengan anak teman Ayah."

"Dia orang yang sangat berjasa, selalu menolong Ayah disaat keluarga kita kesusahan."

"Dia menitipkan anak gadisnya pada Ayah. Ya, Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Dulu gadis itu masih sangat kecil, yang pastinya sangat dibutuhkannya sosok Ayah dalam didirinya. Dan selama kamu sekolah di luar kota, Ayah dan Ibu sering main kerumahnya."

"Ayah harap kamu mau."

Bruuukkk!

Suara benda jatuh membuat lamunan Arkan buyar. Ia keluar dari mobilnya dan seketika terbelalak saat melihat seorang perempuan tergeletak disamping mobilnya.

Arkan segera menghampirinya lalu berjongkok, tangannya terulur untuk mengurai rambut yang menutupi wajah perempuan itu.

"Icha!"

TBC.

Saranghae, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang