SPD-30| Kecelakaan

13.4K 474 8
                                    

Icha berjalan menyusuri pinggiran danau, menikmati indahnya pemandangan dan merasakan sejuknya udara pagi ini. Ia menghentikan langkah kakinya lalu menatap ke arah danau. Memejamkan matanya seraya merentangkan kedua tangannya.

Sreeek!

Seseorang menariknya dari arah belakang membuat Icha terkejut bukan main. Ia membalikan badannya siap melayangkan pukulan.

Namun, itu tidak ia lakukan saat melihat siapa yang menariknya itu, tangannya masih bergantung di udara. Matanya terbelalak kaget dengan napas tak beraturan.

"Mas Arkan!" Pekik Icha lantang, "kaget tahu!" Lanjutnya seraya memukul pelan bahu Arkan.

"Icha kamu gak papakan? Mana Radit? Apa dia menyakiti kamu?" Rentetan pertanyaan Radit membuat Icha mengernyitkan keningnya, bingung.

"Radit? Disini gak ada Radit. Dan Icha gak papa kok Mas, Icha cuma mau ngambil air doang." Ujar Icha seraya mengangkat ember yang tadi ditaruhnya tepat disampingnya.

"Syukurlah," desah Arkan seraya membawa Icha kepelukan. "Mas bener-bener khawatir, takut kamu di apa-apain sama cowok itu." Ujarnya.

Icha tersenyum lembut seraya membalas pelukan Arkan erat. "Maafin Icha yang udah buat Mas cemas."

"Kenapa kamu gak cerita? Mas malah tahunya dari Dewi loh."

"Icha... icha cuma gak mau Mas kenapa-kenapa. Radit itu berbahaya Mas."

Arkan menghela napas pelan seraya melepaskan pelukannya tapi tak mengurangi jarak mereka. Tangannya terulur menangkup pipi Icha.

"Harusnya Mas yang bilang gitu. Mas suami kamu, Cha. Mas gak mau kalo kamu kenapa-kenapa."

"Maaf.."

Arkan kembali memeluk Icha erat, tak peduli jika ada orang yang melihat. Untuk sekarang, ia hanya ingin seperti ini. Memeluk orang yang sangat dicintainya itu.

"Ummm... Mas, nanti malem Icha boleh kan ikut  penjelajahan bersama yang lain?"

Arkan melepaskan pelukannya seketika.

"Enggak! Kamu gak boleh ikut, sayang. Itu berbahaya." Ucap Arkan tegas.

"Tapi Mas ini hari terakhir kita disini, dan Icha gak mau melewatkan ini. Lagian ada Dewi dan yang lainnya kok, satu klompok ada 6 orang."

"Tapi-"

"Please... Icha pengen ikutan. Mas juga kan bisa ikut jadi pembimbing di klompok kita. Ya, ya, ya,"

"Mmm.. yaudah boleh."

"Yeay! Makasih Pak Dosen, jadi makin sayang deh."

💼💼💼

Malam sudah semakin larut, tiba saatnya para mahasiswa berkumpul untuk penjelajahan hutan. Dimana setiap kelompok harus bisa menemukan bendera berwarna merah dengan yang banyak, yang sudah disebar oleh panitia di bagian penjuru hutan.

"Cha, kok gak ada tanda-tanda si Radit muncul ya. Gue heran deh." Bisik Dewi saat mereka tengah menyusuri hutan.

"Gue juga gak tahu. Bukannya ngerasa lega, tapi gue ngerasa bakal ada sesuatu yang buruk gitu. Entahlah, gue takut Dew." Lirih Icha.

"Hussst! Lo gak boleh ngomong gitu, mungkin dia emang balik kehabitatnya kali. Dan moga aja dia udah gak mau gangguin lo lagi."

"Aamiin."

💼💼💼

Pagi harinya, semua mahasiswa berkumpul. Setelah membereskan tenda dan menbersihkan sampah-sampah yang berserakan di sekitar, mereka bersiap untuk kembali ke Jakarta.

Sebagian orang menaiki bus, sebagiannya lagi ada yang bawa mobil sendiri dan dijemput keluarga masing-masing.

Kini tinggallah Icha dan Arkan yang masih ditempat, menunggu jemputan datang. Keduanya tersenyum lebar seraya bergandengan tangan menyusuri jalan menunggu sang supir datang.

Tak lama jemputan datang, keduanya duduk dibangku belakang. Menyandarkan punggungnya pada jok dengan kepala Icha bersandar dibahu Arkan.

"Gimana semalam?" Tanya Arkan seraya memainkan jari tangan Icha yang digenggamnya.

"Seruuu... dan kelompok aku juara satu. Kita berhasil ngumpulin 8 bendera. Hebat kan?" Ujar Icha dengan semangat.

Arkan terkekeh melihat raut wajah Icha. "Kamu gemes- ehh ada apa ini?!"

Arkan mendadak panik saat merasakan laju mobil yang tidak stabil. Icha yang disampingnya pun berteriak terkejut seraya mengeratkan pelukannya pada Arkan.

"Sepertinya remnya blong, Pak."

Setelah sang supir mengucapkan itu, ringtone handphone Icha berbunyi menandakan panggilan masuk.

Nomor tidak dikenal.

Dengan perasaan tak karuan Icha mencoba mengangkatnya. Seketika Ia menjatuhkan handphonenya saat mendengar suara dibalik telepon.

Arkan yang penasaran mengambil handphone Icha lalu didekatkan pada telinganya.

"Hallo, siapa ini?" Ucap Arkan.

"Hallo Pak Arkan, senang bisa bicara dengan anda. Bagaimana perjalanan pulang anda bersama istri tercinta, menyenangkan?"

Radit. Tak salah lagi, ini pasti suara Radit.

"Apa yang kamu bicarakan?" Ucap Arkan tegas.

"O'ow.. selow dude. Saya hanya memberi sedikit pelajaran pada anda. Ya, hanya sedikit. Memutuskan kabel rem mobil anda, Hahaha..."

Tut! Tut! Tut!

Sambungan terputus dibarengi dengan laju mobil yang semakin tak terkendali.

"Mas... Icha takut, hiks!" Icha yang terisak menyadarkan Arkan.

Ia mencoba melepaskan pelukan Icha lalu membuka pintu mobil sebelah Icha. "Sekarang kamu lompat, Cha." Ucap Arkan gemetar.

Icha menggelengkan kepalanya kuat-kuat seraya kembali memeluk Arkan erat. "Enggak! Icha gak mau mas."

"Sayang, Mas mohon.."

"Kalo Icha lompat, Mas juga harus ikut lompat."

"Mas gak bisa. Kamu harus lompat, Cha, demi keselamatan kamu."

"Enggak! Icha maunya sama Mas, Icha gak mau kehilangan Mas."

"Kamu gak akan kehilangan Mas, Mas janji sayang. Sekarang kamu lompat ya."

"Mas bohong, hiks.. Icha gak mau, Icha maunya sama Mas."

"Sayang-"

"Gak mau Mas, Icha gak mau... hiks! Icha sayang sama Mas."

"Mas juga sayang kamu, Cha. Maaf..."

Suara dentuman keras dengan pelukan Arkan yang semakin erat melingkupi tubuhnya. Icha merasakan goncangan hebat dengan rasa sakit yang sangat kuat pada sebelah kakinya yang terjepit sesuatu.  Hingga semuanya sunyi, senyap, gelap, dan kesadarannya pun sepenuhnya hilang.

Tbc.

Saranghae, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang