SPD-52| Sudah Saatnya

12.8K 480 61
                                    

"Sayang! Liat dasi aku gak?"

Teriakan Arkan menghentikan kegiatan Icha yang sedang memasak. Dimatikannya kompor lalu berjalan menuju kamar.

Icha menggelengkan kepalanya saat melihat Arkan yang tengah mengobrak-abrik lemari. "Kamu tuh, ya, Mas, kebiasaan. Padahal kamu yang tiap hari pake dasi, tapi selalu saja lupa. Udah cek dikursi kerja?"

Arkan menghentikan kegiatannya lalu menatap Icha dengan senyuman lebarnya.

Icha mencubit pinggang Arkan gemas.

"Awh! Sakit, yang."

"Yang, yang, yang mulu. Tuh liat! Bajunya jadi berantakan lagi kan. Kamu mah gitu." Ucap Icha seraya menunjuk lemari baju yang sudah berantakan.

"Ya maaf, Mas kan lupa."

"Udah tua sih, makanya lupa mulu." celetuk Icha.

"Kamu tuh, ya. Seneng banget ngatain suami tua."

"Emang bener kan?"

Arkan terkekeh, ditariknya tubuh Icha kedalam pelukannya. "Tua-tua gini, tapi kamu tetep cinta kan?"

"Gak tau."

Arkan menatap datar Icha, membuat wanita itu tergelak.

Melepas pelukannya, Icha mengambil dasi yang sudah ditangan Arkan lalu dipasangkannya dengan telaten.

"Iya, Icha gak bisa menyangkal itu. Kalo Icha memang mencintai lelaki tua ini." Ucap Icha seraya mengusap rahang Arkan dengan lembut.

Arkan tersenyum senang lalu kembali menarik bumil itu kedalam pelukannya. "Sebentar lagi ya?"

Icha yang paham dimaksud Arkan menganggukkan kepalanya. "Tapi... Icha takut Mas."

Arkan menuntun Icha untuk duduk ditepi ranjang dan ia berjongkok dibawah hingga pandangannya tepat diperut besar Icha.

Digenggamnya tangan mungil itu lalu dikecupnya penuh kasih sayang. "Jangan takut, kamu pasti bisa. Mas disini."

Kini tangannya mengusap lembut perut buncit itu. Ia mendongak menatap Icha yang kini juga tengah menatapnya. "Mas hari ini ada meeting penting di kantor, dan mungkin akan ke kampus dulu sebentar. Tapi setelah selesai, Mas bakalan langsung pulang."

"Harus!" Seru Icha.

"Pasti tuan putri. Mama sama Bunda juga udah Mas suruh kesini. Mungkin siang datangnya."

"Yaudah, kita ke bawah. Icha tadi lagi masak, pasti udah diterusin sama Bi Sumi."

"Kamu itu ya, masih aja suka masak. Jangan sampe kecapean."

"Tapi kan Icha bosen, Mas."

"Iya, Mas tahu. Tapi kamu juga harus inget kondisi kamu."

"Hmm, iya."

Arkan berdiri lalu menarik tangan Icha, keduanya berjalan dengan Arkan memeluk pinggang Icha menuju meja makan.

💼💼💼

Icha menatap layar televisi itu tak minat. Diliriknya Bunda dan Mama yang tengah asik menonton.

"Mah, Mas Arkan kok belum pulang ya." Ucap Icha seraya mengelus perutnya yang entah kenapa terasa keram.

"Belum sayang, mungkin sebentar lagi. Kamu kenapa? Perutnya sakit?" Tanya Lidya seraya mendekati putrinya itu.

Widia ikut mendekat lalu mengusap peluh Icha disekitaran keningnya. "Kenapa, nak? Ini sampe keringetan gini."

"Icha.. emm.. ahhk!"

"Icha!" Kedua wanita paruh baya itu memekik bersamaan. Panik bukan main saat melihat cairan putih mengalir disekitar paha Icha.

💼💼💼

Arkan membereskan berkas-berkasnya dan bersiap untuk pulang. Baru berdiri dari duduknya, ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk.

"Hallo, ada apa Bun?'

"..."

"Apa!? Baik, Arkan kerumah sakit sekarang." Arkan menutup panggilannya lalu berlari keluar gedung perusahaan mengabaikan tatapan para karyawan.

Icha. Nama itu ia sebut dalam hati. Sampai diparkiran, mobil Arkan melaju membelah jalan raya. Tangannya meremas kemudi dengan kuat.

Untungnya jalanan terlihat cukup lenggang. Hingga tak perlu memakan waktu lama untuk sampai di rumah sakit.

Memarkirkan mobilnya asal, Arkan berlari seraya menghubungi bawahannya untuk mengurus mobilnya, karena pasti pihak keamanan di rumah sakit akan menegurnya. Arkan menyusuri lorong rumah sakit seraya mengecek ponselnya untuk memastikan keberadaan istrinya itu yang Widia kirimkan.

Dengan Napas memburu Arkan mendekati Widia dan Lidya. "Bun, Ma, gimana Icha?"

"Lagi di tangani dokter." Ucap Widia.

Suara langkah kaki membuat ketiganya menoleh dan mendapati Rahman yang kini berdiri disamping Arkan.

"Gimana?"

"Belum, Yah. Masih ditangani dokter."

Pintu ruangan terbuka menampilkan dokter bersama salah satu susternya.

"Gimana dok, keadaan istri saya?" Tanya Arkan cemas.

"Keadaannya stabil, sekarang udah saatnya. Bapak mau menemani istrinya?"

Arkan mengangguk cepat. "Iya dok, saya ikut menemani."

Sudah saatnya. Ini yang harus Arkan lakukan, menemani Icha disaat akan melahirkan buah hatinya. Arkan menatap kedua orang tua dan mertuanya itu lalu masuk mengikuti dokter.

TBC...

Saranghae, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang