SPD-35| Percaya

13.2K 508 8
                                    

Hari-hari mulai berlalu, kini Icha sudah bisa masuk kuliah. Ia berjalan dibantu dengan dua tongkat, menyusuri koridor kampus dengan perasaan tak karuan. Dimana banyak anak-anak yang menatapnya dengan berbagai ekspresi.

"Jadi, dia istrinya Pak Arkan?"

"Gue gak nyangka kalo ternyata dia istrinya. Apa yang Pak Arkan liat dari dia? Masih cantikan gue kali."

"Beruntung banget bisa jadi istrinya Pak Arkan."

"Gue masih gak percaya kalo dia istrinya Pak Arkan."

"Bukannya dia ya yang sering kena hukum Pak Arkan? Ck. Pasti dia sering godain Pak Arkan."

Icha semakin menundukkan kepalanya mendengar ucapan orang-orang disekitarnya. Mengeratkan pegangannya pada tongkat, Icha berusaha mempercepat jalannya.

"GAK USAH SOK TAU DEH LO SEMUA! HOBI BANGET NGURUSIN HIDUP ORANG, MENDING URUSIN HIDUP LO SENDIRI. JANGAN BISANYA NYINYIR AJA!"

Teriakan itu membuat Icha sedikit tersentak. Ia mendongakkan kepalanya dan seketika ingin menangis saat melihat sahabatnya yang kini sedang menatap marah orang-orang di sekelilingnya.

"Dewi..." lirih Icha.

Dewi menoleh padanya seraya tersenyum lalu merangkul bahunya, membawanya menuju kelas. "Lo gak usah dengerin omongan mereka ya, Cha. Kita ke kelas." Bisik Dewi.

💼💼💼

"Dew, gue ke toilet bentar ya," Icha berdiri dari duduk dengan bantuan tongkat.

"Gue anter ya?" Tawar Dewi.

"Gak perlu, bentar doang kok."

Icha berjalan menuju toilet perempuan dan memasuki salah satu bilik. Setelah selesai ia berdiri didepan cermin, membasuh muka, lalu menatap pantulan dirinya dicermin. Icha menghela napas pelan. Ia mengingat jelas ucapan siswi tadi di koridor kampus.

Ceklek!

Suara pintu dibuka membuat Icha menoleh dan mendapati Winda-si tukang gosip, bersama teman-temannya.

"Ketemu juga kita disini." Ucap Winda menatap Icha dari atas sampai bawah. "Gue pikir, istrinya Pak Arkan itu cantik, seksi, siswi populer dikampus ini. Ternyata elo. Apa sih yang Dia lihat dari elo?"

Icha menundukkan kepalanya, "Permisi," Ia berniat meninggalkan mereka semua. Tapi seseorang menendang sebelah tongkatnya hingga membuat Icha oleng dan...

Bruukkk!

"Aahhhk!" Icha meringis saat terjatuh, kepalanya terbentur wastafel membuatnya pening seketika.

Suara ribut Winda dan yang lainnya membuat Icha mendongak. Pandangannya tak pokus, kepalanya semakin berdenyut hebat. "Tolong..." lirih Icha.

Bukannya menolong, Winda berlari keluar toilet diikuti kawanannya. Meninggalkan Icha sendiri.

"Tolong! Sakit..."

💼💼💼

Arkan berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor. Memasuki ruang kesehatan dan mendapati istri tercintanya meringis kesakitan karena Dewi tengah memasangkan plester di dahinya.

"Icha!" Panggil Arkan seraya merengkuh Icha, memeluknya sebentar. "Kenapa bisa jatuh?" Tanya Arkan setelah melepaskan pelukannya. Ia mengusap plester didahi Icha.

"Itu semua karena Winda, Pak." Dewi menyahut lebih dulu.

"Winda?"

Dewi menatap Icha sebentar lalu kembali menatap Arkan. Ia lalu menjelaskan semuanya pada Arkan, termasuk kejadian tadi pagi dikoridor.

Rahang Arkan mengeras seletika. Ia mengeluarkan handphone lalu mengetik sesuatu. Tak lama dari itu satpam kampus datang memasuki ruang kesehatan membuat Dewi dan Icha heran.

"Pak Ali, saya mau semua siswa dikampus untuk berkumpul di aula sekarang." Ucap Arkan tegas.

"Baik, Pak. Kalo begitu saya permisi." sahut Pak Ali.

"Ayo, sayang. Kita ke aula sekarang."

Arkan menuntun Icha menuruni ranjang. Saat ingin melangkahkan kaki, Icha masih terdiam ditempat.

"Sayang-"

"Mas, apa yang mau Mas lakuin?"

"Kamu bakal tahu nanti. Sekarang ikut Mas ke aula!"

"Tapi-"

"Percaya sama Mas, Cha."

Tbc.

Saranghae, Pak Dosen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang