twentieth rain

535 88 5
                                    

Orang tua Jenny sudah bersiap-siap untuk menemui Dewi untuk membatalkan perjodohan kedua anaknya namun tiba-tiba Jenny menghalangi keduanya yang baru saja ingin melewati pintu. Gadis itu sudah berdiri dengan tangan yang merentang menahan ayah dan ibunya agar tetap berada di rumah.

"Papa sama Mama nggak akan kemana-mana," kata Jenny menatap sendu kedua orang tuanya.

"Jenny minggir." Papanya sudah menaikkan nada suaranya dan itu adalah peringatan pertama untuk Jenny.

"Nggak, Jenny nggak akan minggir sampai Papa janji nggak bakal batalin perjodohan ini."

Mama Jenny tampak bingung dengan sikap anak gadisnya itu, tapi dia hanya bisa mendekat, mengelus punggung anaknya dan mengatakan hal-hal baik agar Jenny mau membatalkan perjodohannya dengan Yoga.

"Yoga bukan lelaki yang tepat sayang. Mama sama Papa selalu mau kamu dapet suami yang bisa bahagiain kamu. Dalam sebuah keluarga yang paling penting adalah cinta. Dan kamu lihat sendiri Yoga bahkan tak mencintaimu."

Mamanya memberi nasihat, tapi Jenny seakan sudah tuli dengan itu semua menggeleng dan berteriak histeris persis seperti pasien rumah sakit jiwa.

"Nggak, sampai kapanpun Jenny nggak bakalan ngelepasin Yoga."

"Jenny kamu sudah gila? Dia tak mencintaimu. Mana harga dirimu sebagai seorang wanita?" Ayahnya kini sudah berada diambang kesabaran menghadapi anaknya yang begitu keras kepala.

"Aku akan membuatnya mencintaiku."

"Kapan? Kapan kamu bisa membuatnya mencintaimu. Kamu sudah mengatakan itu sejak awal kami menjodohkan kalian, tapi apa nyatanya anak itu masih bersama kekasihnya yang dulu. Tidak kah kamu malu hah?"

"Tidak, aku mencintainya itu sudah cukup aku tak peduli dia mencintai wanita itu asal dia hidup denganku itu sudah cukup bagiku."

"Kamu gila!" bentak ayahnya lagi.

"Itu sama saja kamu akan tinggal dengan boneka."

"Aku tidak peduli." Jenny mulai berteriak hingga beberapa pembantu ikut keluar untuk melihatnya.

"Jenny."

"Kalau Papa sama Mama mau batalin perjodohan ini lebih baik Jenny mati aja," ancam Jenny, tapi ayahnya tetap pada pendiriannya bagaimanapun juga nama baik keluarganya harus tetap dijaga.

"Tak usah dengarkan anak itu." Papanya merangkul mamanya untuk meninggalkan rumah.

"Tapi, Pa."

"Biarkan saja anak itu hanya menggertak."

Setelah ucapan itu Jenny benar-benar pergi ke dapur mengambil pisau dapur lalu mengiris pergelangannya sendiri.

Di awal kedua orang tuanya tak melihat, tapi teriakan nyaring dari pembantunya membuat keduanya berbalik dan sangat terkejut saat melihat pergelangan anaknya sudah terluka seperti itu.

"Ya Tuhan Jenny." Mamanya langsung berteriak panik.

"Pa, ini Jenny gimana Pa."

"Asep siapin mobil cepet."

"Iya Tuan."

"Mama tenang kita bawa Jenny ke rumah sakit."

-o0o-

Rumah sakit memang hal yang sering Yoga dan Rosie datangi, tapi jika untuk menjenguk pasien jelas mungkin akan berbeda rasanya. Seperti sekarang bagaimana Yoga terus saja mengigit bibir bawahnya sementara Rosie terus memegang tangan Yoga. Walaupun Yoga tak menyukai Jenny, tapi sebagai seorang dokter dia tak pernah menyukai kematian karena itu tandanya ia gagal walaupun itu bukan kesalahannya.

✅The Raindrop Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang