twenty first rain

565 83 15
                                    

Ayah Jenny sedang mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut, ia tahu bahwa bahwa apa yang terjadi pada anaknya bukanlah salah Yoga, tapi ia butuh seseorang untuk melampiaskan kemarahannya.

Namun, kini ia menyesal. Ia tahu semua emosi sesaatnya itu tak akan memberikan dampak apa pun untuk putrinya yang masih tak sadarkan diri.

"Sekarang apa yang harus kita lakuin?" tanya sangat istri.

"Setelah Jenny sadar sebaiknya kita bawa di ke psikiater." Sakit rasanya harus mengakui bahwa yang dikatakan Rosie adalah benar anaknya tidak waras.

"Jenny anak kita, kamu mau masukin dia kerumah sakit jiwa?" Sebagai seorang ibu ia tak bisa membiarkan buah hati yang begitu ia cintai dianggap gila.

"Bukan rumah sakit jiwa, tapi psikiater, benar kata anak itu Jenny perlu diperiksa." Mama Jenny tampak tak begitu menyukai ide dari sang suami bagaimana lelaki itu bisa mengganggap anak mereka gila.

"Nggak jika itu solusi darimu aku nggak akan setuju. Jenny waras dia tidak gila dia hanya mencintai orang yang tak mencintainya dan itu hal yang wajar."

"Tidak itu bukan hal yang wajar, anak kita bunuh diri itu bukan hal yang wajar. Kamu harusnya tahu Jenny nggak ada kesempatan buat bersama Yoga."

"Kalau gitu kita buat kesempatan lainnya. Aku nggak mau anakku satu-satunya menderita."

"Ya Tuhan Mira, Yoga mencintai gadis itu biarkan mereka menjalani hidupnya. Selama ini kita sudah terlalu egois dengan ikut campur di hubungan mereka."

"Kenapa harus berhenti? Kita sudah terlanjur masuk. Jika kamu nggak mau membantu anak kita biar aku yang melakukannya," kata mama Jenny lalu pergi masuk ke dalam ruangan tempat Jenny dirawat.

-o0o-

"You okay?" tanya Rosie sambil mengobati Yoga di apartemen Yoga.

"Kamu nggak perlu bela aku sampai segitunya," kata Yoga sambil memegang tangan Rosie yang tadinya hendak mengoleskan salep untuk memar Yoga.

"I have to. Dia keterlaluan." Yoga tersenyum kecil.

"Aku pikir kamu bakal ninggalin aku," kata Yoga kini melepaskan tangan Rosie dan tersenyum dengan tatapan sendunya.

"Kenapa kamu berpikir kayak gitu?" tanya Rosie sambil kembali mengoleskan salep kemudian ia duduk di samping Yoga.

"Semuanya terlihat begitu sulit untuk kita, aku hanya takut kamu nyerah." Rosie mengakuinya semuanya memang berjalan tak seperti rencananya, halangan selalu menghampiri hubungan mereka. Tapi, itu bukan alasan bagi Yoga untuk meragukannya.

"Aku nggak akan nyerah," ucapnya kini memegang kedua tangan Yoga.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Yoga, dan Yoga tak hanya sendiri karena Rosie juga memikirkan hal yang sama, ia takut jika ia tak melakukan apapun hubungan mereka akan kandas begitu saja.

Tiba-tiba sebuah memori lama terputar di otaknya.

"Kalian berhubungan sembunyi sembunyi lalu-"

"Lalu?"

"Tidur dengannya, hamil dan lahirkan anak yang lucu-lucu aku yakin seratus persen nenek sihir itu akan luluh."

"Ini bukan drama yang sering kamu tonton diem-diem di rumah sakit Sonya. Ini kehidupan nyata."

"Jangan pernah meremehkan drama Rosie, drama itu dibuat dari kisah di dunia nyata bahkan terkadang kehidupan nyata lebih drama daripada drama."

✅The Raindrop Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang