twenty fourth rain

594 82 7
                                    

Terhitung dari dua minggu setelah keputusan Rosie untuk meninggalkan Yoga, semuanya tampak begitu berat untuk keduanya, bahkan di minggu pertama Rosie sempat pingsan karena beberapa hari tak tidur. Ya, dia memang sepatah hati itu. Jika dibandingkan dengan patah hatinya yang pertama kali ini lebih dari itu. Rasanya lebih menyakitkan entah apa yang membedakannya ia tak tahu.

Tak berbeda dari Rosie, Yoga pun sama hancurnya hanya butuh dua minggu dia kehilangan banyak berat badan tak peduli makanan apa yang masuk ke tubuhnya semuanya hanya agar dia tetap hidup dan mengenang Rosie sesuka hatinya.

"Baju kamu udah dateng, coba dulu siapa tahu kamu nggak suka," kata Dewi ditemani seorang designer yang merancang jasnya.

"Yoga."

"Lakuin semua yang pengen Mama lakuin, toh aku udah kehilangan dia," kata Yoga seolah hidupnya sudah tak bisa ia kendalikan lagi.

"Yoga dengerin Mama, ini semua Mama lakuin demi kamu. Masa depan kamu."

"Masa depan aku atau Mama? Udahlah Ma nggak usah bawa-bawa kebaikan kalau Mama sendiri nggak tahu apa yang bikin anak Mama bahagia."

Hati Dewi sakit mendengarnya bagaimana pun juga dia seorang ibu mendengar Yoga mengatakan itu membuatnya menyadari betapa dia yang terlalu memaksakan kepentingannya pada sang anak. Sayangnya, itu bukan berarti dia akan mundur, Dewi tak pernah mundur.

-o0o-

Steven disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk hingga ia tak punya waktu untuk melihat kabar Rosie di Indonesia apalagi ponselnya telah dicuri orang seminggu yang lalu dan itu langsung memutus aksesnya untuk menghubungi kerabatnya di Indonesia.

"Hei Bro."

"Apa kamu sangat tak punya kegiatan sampai datang ke kantorku?" sindir Steven pada Sena yang datang masih sama dengan pakaian yang anak itu gunakan saat pamit pergi ke kampus tadi pagi.

"Aku sendiri terlalu malas untuk ke kantormu yang ehm membosankan," katanya lalu mempersilahkan dirinya untuk duduk dengan nyaman di sana.

"Lalu kenapa kamu kemari? Apa uangmu habis?"

"Belum, tapi kalau mau ditambah aku nggak nolak." Steven berdecak kesal Sena tak pernah gagal membuat suasana hatinya menjadi buruk.

"Jika bukan uang terus apa?"

"Kak Dio meneleponku, dia menanyakanmu," kata Sena sambil mengeluarkan permen lolipop dari tasnya.

"Apa lagi yang dia katakan?" tanya Steven dia merasa dengan Dio yang sedikit anti dengan Sena tak mungkin menelepon gadis itu jika tak ada yang penting.

"Dia menyuruhmu meneleponnya." Alis Steven berkerut ia yakin ini pertanda buruk bisa jadi ini berhubungan dengan Rosie.

"Berikan ponselmu."

"Tidak."

"Sena ini penting kumohon."

"Kamu tahu mantranya." Steven mendesah adiknya tak pernah melewatkan kesempatan seperti ini.

"Berapa?" Sena menggeleng.

"Aku tak butuh uang, cukup belikan aku tiket liburan ke Maladewa lengkap dengan hotelnya." Ini pemerasan namanya, tapi karena butuh Steven hanya bisa menyetujuinya.

"Baiklah hubungi Karl untuk mengurusnya sekarang berikan hpmu."

"Senang berbisnis denganmu Bro." Sena langsung memberikan ponselnya pada Steven dan kembali duduk tenang.

"Di—"

"Ada apa dengan hpmu? Kenapa kamu sulit sekali dihubungi?" Dio langsung melancarkan ocehan bahkan sebelum Steven selesai memanggil namanya.

✅The Raindrop Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang