Ditemani malam yang terlihat murung, gadis itu mencurahkan kegundahannya pada sang pemilik hati. Gelaran sajadah menjadi saksi betapa nelangsanya Raida.
Banyak kegalauan yang menghampirinya, di satu sisi Raida ingin sekali meminta penjelasan dari Arvan tentang kepergiannya dulu dan juga ingin melerai rindu yang semakin beradu. Di sisi lain, ada hati yang harus Raida jaga. Betapa jahatanya Raida jika mengecewakan seseorang yang sudah mencintainya dengan tulus, bahkan telah berani meminta izin kepada kedua orang tua Raida.
Ya Allah, mengapa kau hadirkan dia di saat yang tidak tepat, mengapa kau hadirkan dua hati ini yang membuat kegundahan melanda.
Ya Allah, jika takdir untukku memang yang terbaik. Buatlah aku menerimanya dengan ikhlas. Dan tolong bantu aku melupakan apa yang seharusnya tak usah kukenali.
Untaian doa demi doa ia keluarkan pada malam itu, Raida berharap dalam perjalanan hidupnya Allah senantiasa menemani dan mengarahkan pada jalan yang benar.
Kegiatannya berhenti ketika mendengar suara yang menganggu keluar dari handphone yang ada di atas nakas. Gadis itu kemudian mengusap wajahnya, lalu membereskan sajadah dan mungkena terlebih dahulu.
Tangannya meraih, dan melihat siapa si pengirim pesan malam-malam seperti ini.
"Astagfirullah!" Mata Raida membulat sempurna, dadanya bergemuruh hebat. Bagaimana tidak, yang mengirm pesan itu ialah Arvan ....
Tanpa berfikir lebih lama, dibukanya pesan itu.
Arvan: Jika benar ini kamu, Raida. Tolong temui aku di tempat dulu kita berpisah.Rumah pohon, ya itu tempat awal dari sebuah perpisahan Raida dan Arvan. Bukannya senang mendapat kabar seperti ini, Raida malah semakin gundah gulana. Gadis itu tak tahu harus pergi atau tidak, ia tak sanggup jika nanti menangis di depan Arvan.
Beberapa lama terdiam, akhirnya Raida memilih keputusan untuk bertanya terlebih dahulu kepada Lita, bundanya. Sekiranya Raida tak akan melangkah pada kesalahan lagi nantinya.
~•°•~
Tepat hari ini kegiatan perkuliahan gadis berkhimar ungu itu libur. Ada waktu untuk menenangkan pikiran dan juga raganya. Dan tepat hari ini Raida memutuskan untuk menemui Arvan seperti pesan yang dikirimkan lelaki itu waktu malam.
Raida sudah bercerita pasal ini pada Lita, dan akhirnya bundanya itu menyuruh Raida untuk menemui Arvan. Perlu jiwa yang kuat bagi Raida dalam hal ini, ia tak boleh menangis seperti anak kecil nanti bisa-bisa lelaki itu mentertawainya.
Tak perlu kendaraan untuk ke tempat yang di tuju, karena rumah pohon yang di maksud hanya beberapa meter saja dari rumah Raida. Jadi gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki saja, hitung-hitung menyehatkan badan.
Terlihat tanah di sekitar rumah pohon sangat basah, mungkin semalam hujan. Dipijakkannya kaki itu tak menghiraukan jika nantinya akan kotor.
Baru beberapa melangkah, kaki Raida terhenti. Tatapannya mengarah ke sebuah objek yang ia nanti sejak lama. Itu, Arvan. Lelaki itu tampan beda sekali, terlihat dari sisi badan tegapnya begitu menjulang tinggi dan juga hidung runcing. Ada hal yang membuat Raida lebih takjub, yaitu pakaian yang lelaki itu kenakan.
Dia seorang tentara?-batin Raida.
Ya benar, Arvan sekarang terlihat gagah dengan seragam loreng dan juga baret hijau di kepala sungguh sangat mengeluarkan aura tegasnya. Masih di posisi yang sama Raida mentapa kagum. Arvan yang di lihat Raida sekarang bukanlah Arvan kecil, tapi seorang prajurit.
Astagfirullah, Raida lantas menundukan pandangannya. Ia dan lelaki itu kini semakin jauh berbeda, apakah pantas bertemu dengannya?
"Raida, apa itu kamu?" Suara itu begitu menggelegar di telinga Raida, berhasil membuat jantung meronta-ronta. Kenapa Raida begitu gugup? Entah, mungkin setelah sekian lama tak bertemu langsung seperti ini.
Di tegakannya tatapan gadis itu, tepat saat itu juga mata mereka saling bertemu. Ada kerinduan yang berusaha melebur, ada bayangan harapan yang menggapai kenyataan.
"Assalamualaikum, Raida." Gadis itu tersadar, dialihkannya tatapan pada arah lain.
"Waalaikumsalam," lirih Raida. Jika sudah begini, gadis itu sebentar lagi pasti akan menangis.
"Bagaimana keadaanmu?" Setelah mereka duduk di kursi dekat danau, Arvan mulai berbicara untuk mencairkan suasana.
"Sedang tidak baik," jawab Raida dengan kepala menunduk. Ini bukanlah Raida yang dulu, gadis itu pemurung-pikir Arvan.
"Ada masalah?" Mendengar pertanyaan seperti itu membuat Raida mendongkakan wajahnya. "Ada. Masalah tentang hilang nya kamu." Bukannya bingung, Arvan malah mengulam senyum.
"Aku sudah ada di sini, Raida. Jangan buat itu sebuah masalah."
"Itu mudah bagi kamu. Bagiku sulit, Arvan. Sudah beberapa tahun berpisah tanpa informasi sedikit pun dan sekarang kamu kembali. Apa mau mu?"
"Raida, aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku pun seperti itu, berpisah dengan seorang sahabat memang sangat membuatku resah."
Raida menatap lurus, ia tersenyum miris ketika Arvan mengingatkannya pada posisi Raida di hidup lelaki itu. Hanya 'sahabat'. Kenapa harus sakit serta sedih mendengar hal itu?
"Lalu kenapa kamu tak menemuiku di rumah sakit di saat kamu tahu yang kamu tolong itu adalah aku? Ah, iya terima kasih atas pertolongan kamu."
"Aku ingin menemani dan menemui kamu pada saat sadar. Tapi pada saat itu ada panggilan tugas." Ya Tuhan, Raida baru menyadari kalo Arvan ini seorang tentara. Bagaimana bisa ia sebodoh itu!
"Kamu bisa lihat sendiri, aku sekarang seorang abdi negara. Kebetulan sekali aku ditugaskan kemari, aku ingin menemui kamu pada saat itu. Tapi sebuah kecelakaan membuatku menghentikan perjalanan, dan betapa kagetnya aku kalau korban itu ialah kamu," jelas Arvan. Lelaki itu menceritakan kejadian mengenaskan itu kembali. Raida hanya menatap lurus dengan sebuah genangan air di pelupuk matanya.
"Apa kamu tidak merindukanku?" Sontak Raida menoleh, menatap sendu Arvan. "Menurutmu untuk apa aku menelponmu waktu itu? Sangat jelas, rindu itu ada." Perlahan tapi pasti air mata Raida mulai membasahi pipi mulusnya. Arvan kekalabakan sendiri, ia tak bermaksud membuat gadis di hadapannya menangis.
"Kamu masih kaya dulu ya, cengeng," ujar Arvan, tersenyum gemas.
Tentu saja itu membuat Raida malu, dan lantas menghapus cepat air matanya. Gadis itu meruntuki kebodohan yang sudah diperbuat.
"Sudah jangan malu, aku tetap Arvan kamu yang dulu ko."
Raida mengulam senyum, walaupun samar.
"Ada yang ingin kamu katakan lagi soal aku?" Raida menoleh, kemudian mengelengkan kepala. Hingga sebuah senyuman lebar Arvan tercipta, "senyum dong, Aida." Panggilan itu, panggilan yang begitu dirindukan bagi si pemilik nama.
Sejuru kemudian, senyuman manis Raida mengembang sempurna membuat siapa saja jatuh hati. Termasuk Arvan, si prajurit TNI AD.
~•°•~Berikan vote untuk cerita ini, Allah maha melihat dear.
Salam, wanita akhir zaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...